Jakarta (ANTARA News) - Tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga Ketua Fraksi partai itu di DPR Tjahjo Kumolo menilai, aksi "buy back" atau pembelian kembali saham BUMN di bursa saham tidak akan mengubah banyak pasar modal. "Kalau pemerintah memiliki Rp4 triliun untuk `buy back` saham BUMN, (maka itu) sama saja menggarami air laut karena 70 persen saham BUMN dimiliki investor asing," kata Tjahjo yang juga anggota Komisi Anggaran DPR di Semarang, Sabtu. Ia memandang, masalah "buy back" saham BUMN berangkat dari sikap pemerintah yang tidak terbuka sejak awal, khususnya tercermin dari isi pidato Presiden tentang nota keuangan RAPBN tahun 2009 yang menapikan masih lemahnya pondasi ekonomi. Namun, Tjahjo mengakui dampak krisis global telah membuat situasi keuangan nasional agak gawat karena nilai tukar rupiah melemah hingga sempat mencapai Rp10.500 per dolar AS. Oleh karena itu, ia meminta Panitia Anggaran DPR RI segera merumuskan keputusan yang rasional dan tidak mengawang hanya demi menjaga citra dengan cara meminta pemerintah mengambil langkah-langkah yang tegas. Pemerintah, katanya, seharusnya menggunakan APBN yang realistis termasuk angka-angkanya. "Saya mengusulkan pertumbuhan ekonomi 6,1 persen sampai 6,2 persen saja mengingat sumber pembiayaan memang sangat terbatas," tutur Tjahjo yang merupakan salah seorang dari sedikit politisi di Indonesia yang peduli pada perkembangan krisis global yang berpotensi mengancam perekonomian nasional ini. Tjahyo mempertanyakan sasaran kebijakan Menteri Keuangan yang menyediakan Rp60 triliun untuk menghadapi dampak krisis keuangan di AS. Kebijakan ini hanya membuat perbankan Indonesia bertanya apakah ada investasi Indonesia yang ditanamkan dalam sistem keuangan AS seperti pada Lehmann Brothers yang sudah bangkrut, bahkan pemerintah tidak mau mengurangi anggaran belanja. "Pemerintah terkesan panik," kata Tjahjo. Tjahjo menilai, pengaruh krisis ekonomi AS terhadap ekonomi Indonesia sebetulnya tidak terlalu signifikan di mana dampaknya terhadap sektor riil pun baru akan dirasakan delapan hingga sembilan bulan ke depan. Namun kebijakan ekonomi pemerintah yang tidak konsisten dan kurang percaya diri hanya akan membuat keadaan bertambah parah sehingga bisa memperluas panik. "Bisa-bisa (Indonesia) balik lagi ke IMF," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008