Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Fadhil Hasan, meminta otoritas bursa dan otoritas moneter hati-hati menerapkan kebijakan dalam meredam penurunan saham di pasar modal.
"Pola perdagangan saham di BEI tidak lazim, selain pemilik modal didominasi investor asing, sentimen pelaku pasar juga sangat sensitif terhadap faktor eksternal," kata Fadhil Hasan kepada ANTARA, Jumat pagi.
Menurutnya, berbagai kebijakan yang dikeluarkan harus diukur efektifitasnya apakah dapat menurunkan sentimen negatif pasar atau justru menimbulkan kepanikan yang luar biasa.
Pada perdagangan Jumat (10/10), BEI kembali dibuka setelah pada perdagangan Rabu (8/10) sesi I perdagangan saham dihentikan hingga Kamis (9/10).
Menurut Fadhil, perdagangan saham pada awal pasar akan dibayangi anjloknya Indeks Dow Jones sebesar 678,91 poin menjadi 8.579,19 poin pada penutupan Kamis (10/10), yang merupakan indeks terendah sejak 2003.
"Kemungkinan akan tertekan pada awal perdagangan, akan tetapi apakah bisa "rebound" hingga penutupan pasar sangat tergantung efektifivitas kebijakan yang diambil pemerintah," katanya.
Untuk menopang penurunan harga saham di BEI, otoritas bursa
memutuskan memperbaiki aturan program "buyback", memberi kelonggaran kepada emiten tanpa melakukan rapat pemegang saham, meningkatkan jumlah saham yang dapat dibeli kembali dari maksimal hanya 10 persen menjadi 20 persen dari modal disetor, dan menghilangkan pembatasan pembelian saham sebesar 25 persen dari total volume perdagangan harian sehingga emiten bisa membeli kembali sahamnya tanpa batas.
Selain itu otoritas bursa akan menindak tegas peluka pasar yang diduga melakukan penyimpangan dalam transaksi saham. Sedangkan Bank Indonesia berupaya dengan menaikkan giro wajib minimum (GWM).
Ia meragukan "buyback" saham efektif menurunkan sentimen negatif pelaku pasar, karena program ini jika dipaksakan bisa menjadi ajang aksi koprorasi yang di dalamnya sarat "moral hazard".
Karena itu ujarnya, "buyback" terutama yang diarahkan kepada BUMN yang memiliki kelebihan likuiditas ini sebaiknya dilakukan selektif dan menunggu waktu yang tepat.
Fadhil yang juga merupakan anggota Tim Indonesia Bangkit juga masih meragukan dampak positif dari kebijakan BI menurunkan GWM, karena di satu sisi masih saja menaikkan suku bunga acuan (BI Rate).
"Bagaimana mungkin likuiditas perbankan terjamin jika BI Rate masih tinggi. Ini tidak sejalan dengan kebijakan bank-bank di dunia yang justru menurunkan suku bunga dan menginjekasi dana untuk sektor perbankan," katanya.
Dengan demikian, ujar Fadhil, apakah dengan kebijakan tersebut dapat mengkompensasi penurunan global masih sangat diragukan.
"Bisa jadi confidence level (level kepercayaan) pelaku pasar masih tertekan karena terperangkap pola atau trend penurunan global," tegasnya. (*)
Copyright © ANTARA 2008