Jakarta (ANTARA News) - Sebagai upaya mengurangi dampak krisis ekonomi global, industri telekomunikasi disarankan meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri dalam mengembangkan infrastruktur dan layanannya.
"Krisis tersebut tentu akan berdampak destruktif meski dalam skala kecil, tetapi industri telekomunikasi agar menyikapinya secara arif dan komprehensif. Tidak terlalu ekspresif dan terlalu panik," kata Kepala Bagian Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Postel, Gatot S Dewa Broto di Jakarta, Jumat.
Dalam keterangan tertulisnya, Gatot menjelaskan, dari pengalaman krisis tahun 1998 industri telekomunikasi adalah salah satu sektor yang terimbas cukup dalam seperti terhentinya pola kerjasama operasional (KSO) pembangunan telekomunikasi.
Namun ketika sejumlah sektor lainnya belum sepenuhnya pulih, industri telekomunikasi juga menjadi salah satu sektor yang bisa bertahan hidup dan cepat mengembangkan usahanya lagi.
"Saat ini akan lebih 'survive' lagi karena secara fundamental sistem ekonomi Indonesia relatif cukup kuat dan kondisi bisnis telekomunikasi tidak lagi berada pada rejim monopoli," kata Gatot.
Untuk itu, Ditjen Postel akan pro aktif menjadi pendorong sekaligus fasilitator bagi perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pabrikan industri dalam negeri bidang telekomunikasi guna terus mengembangkan penelitian dan pengembangan produksi dalam negeri.
Bukan berarti seluruhnya harus menggunakan produksi dalam negeri, tetapi ada batas jumlah prosentasi tertentu dan dalam tahapan waktu tertentu yang harus dipenuhi.
Pentingnya penggunaan produk dalam negeri tidak semata-mata berupa himbauan akan tetapi sudah merupakan implementasi yang wajib dipatuhi seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian tentang Pedoman Teknis Penggunaan Produksi Dalam Negeri, demikian Gatot.
Pada seleksi penyelenggara jaringan seluler bergerak gererasi ke tiga (3G), peserta diwajibkan menggunakan produksi dalam negeri dalam bentuk pembelanjaan modal (capital expenditure) sekurang-kurangnya 30 persen per tahun, dan pembiayaan operasional (operating expenditure) sekurang-kurangnya 50 per per tahun.
Demikian pula pada proyek penyediaan akses telekomunikasi dan informatika perdesaan (USO), diwajibkan memiliki perangkat yang tingkat komponen dalam negerinya minimal sudah ditentukan pada prosentase tertentu.
Hal yang sama juga ditetapkan pada rencana pelaksanaan tender "broadband wireless access" (BWA).
Sesungguhnya, kehadiran investor asing sangat dibutuhkan akan tetapi harap dipahami bahwa Ditjen Postel mesti berupaya melindungi industri dalam negeri dalam batas-batas tertentu secara "fair," obyektif dan transparan.
"Krisis keuangan global ini merupakan pelajaran pahit yang berharga. Degulasi dan kebijakan yang selama ini telah mendorong penggunaan produksi dalam negeri sudah pada jalur yang tepat. Tinggal penyempurnaan di sana sini," katanya.
Berdasarkan catatan Postel, hingga Juni 2008, jumlah pelanggan telepon tetap kabel 8,6 juta nomor, pelanggan telepon tetap nirkabel (FWA) 12,68 juta, sedangkan pelanggan seluler mencapai 134,58 juta nomor.
Sementara itu pertumbuhan pelanggan seluler mencatat pertumbuhan terbesar selama Juni 2008 yaitu sekitar 50,34 persen dibanding periode sama tahun 2007. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008