... yang paling utama yang dia butuhkan adalah stabilitas...

Jakarta (ANTARA) - Joko Widodo (Jokowi) memasuki periode pemerintahannya sebagai presiden yang kedua kali dengan beragam ujian, namun selalu dijawab secara diplomatis.

Saat menunjuk rivalnya di Pemilu 2019, Prabowo Subianto, sebagai menteri pertahanan, beberapa pihak mempertanyakan apa sebenarnya maksud dari tindakan Jokowi itu.

Peneliti sosok Jokowi, Andi Zulkarnain, 'menangkap' alasan di balik Jokowi menarik ketua umum DPP Partai Gerindra itu ke dalam Kabinet Indonesia Maju.

"Jokowi membutuhkan stabilitas. Untuk menjalankan janjinya lima tahun ke depan, yang paling utama yang dia butuhkan adalah stabilitas," kata Zulkarnain berdasarkan pernyataan tertulis, yang diterima di Jakarta, Kamis (24/10).

Namun ujian tak berhenti sampai di situ, kembali dipertanyakan. Kali ini, oleh relawan pendukungnya yang akrab disapa Pro Jokowi (Projo), yang memiliki sikap tersendiri soal ini dan mengancam akan pamit.

Jokowi merespons ancaman itu dengan cara yang diplomatis. Ia tidak marah, tidak juga 'menjilat ludah sendiri' dengan menarik Prabowo dari posisinya.

Pada akhirnya, relawan Projo tiba-tiba tak jadi pamit, sebagaimana disampaikan Ketua Umum Relawan Projo, Budi Arie Setiadi, saat dipanggil Jokowi ke Istana Negara. Sang ketua organisasi massa ini malah ditunjuk menjadi wakil menteri di Kabinet Indonesia Maju.

Tentang ucapannya mereka akan membubarkan diri jika sesuatu langkah politik tetap dijalankan, dia mengakui bahwa 'emosi' internal Projo di tingkat bawah belum stabil, namun ungkapan pamit itu soal perasaan. "Projo ini adalah rumah besar pendukung militan Pak Jokowi,” kata dia, di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/10).

Skor 2-0, Jokowi unggul dari pihak-pihak yang ingin menguji kepemimpinannya. Namun, ujian-ujian rupanya tidak berhenti mengisi hari-hari Jokowi.

Terkini, ujian itu dilakukan pihak-pihak tertentu melalui wacana amandemen UUD 1945. Tapi sekali lagi, Jokowi bisa membaca masalah dan menyelesaikan ujiannya dengan cermat.

Menjerumuskan
Masih ada lagi "ujian", yaitu soal amandemen UUD 1945. Ia mengatakan pihak-pihak yang mengusulkan amendemen UUD 1945 dengan mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode ingin menjerumuskannya.

"Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. (Mereka yang usul) itu, satu ingin menampar muka saya, kedua ingin mencari muka, ketiga ingin menjerumuskan, itu saja," kata Jokowi dalam acara diskusi dengan wartawan istana kepresidenan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12).

Ia mengatakan saat wacana amandemen UUD 1945 muncul, ia telah menyarankan kepada MPR agar bisa melakukan amandemen terbatas untuk urusan haluan negara saja dan tidak melebar ke mana-mana atau kalau jika tidak bisa, ia memilih tidak perlu dilakukan amendemen UUD 1945.

"Jadi, lebih baik, tidak usah amendemen. Kita konsentrasi saja ke tekanan-tekanan eksternal yang bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan," katanya.

Terkait ini Zulkarnain mengatakan jika Jokowi telah melalui semua proses tangga jabatan secara sistemik. Dari kepala daerah di kota kecil, Solo, kemudian menjadi gubernur di ibu kota negara, dan menang pada pemilihan presiden, sebanyak dua kali.

Jokowi juga dinilai berhasil melenyapkan mimpi sejumlah politisi yang lebih senior untuk berkantor di Istana Jalan Medan Merdeka Utara.

Padahal rivalnya sudah mempersiapkan diri cukup lama, dengan merebut posisi ketua umum partai, bahkan ada yang secara khusus mendirikan partai. Ada pula yang menapaki puncak karir di militer sebagai jalan menjadi RI 1. Namun semua itu pupus ketika Jokowi hadir dalam pentas politik nasional.

Asian of The Year 2019
Baru-baru ini Jokowi dianugerahi gelar "Asian of The Year 2019" oleh harian berbahasa Inggris dari Singapura, The Straight Times. Negara pulau ini bertetangga langsung dengan Indonesia dan merasakan benar dampak kehadiran warga negara Indonesia di sana.

Sebagian pihak menilai, penghargaan ini memperkuat kisah Jokowi, sebagai sebuah fenomena politik di Indonesia, bahkan di dunia. Bagaimana seorang pengusa kayu biasa, bermetamorfosis menjadi politisi papan atas.
​​​
Namun, penghargaan "Asian of the Year 2019" dari media The Straits Times kepada Jokowi bisa dimaknai sebagai pujian sekaligus ujian baru di periode keduanya sebagai presiden.

Hal itu diungkapkan Zulkarnain. Pasalnya, dari penghargaan itu menuntut Jokowi untuk menunaikan segala janji politiknya di periode kedua serta memberi berkontribusi besar bagi kemajuan Asia.

Dosen ilmu politik UKI itu menjelaskan, salah satu alasan dari penghargaan "Asian of The Year 2019" adalah kemampuan menciptakan keharmonisan di Indonesia. Sehingga menurut dia, Jokowi dituntut menyelesaikan sebanyak mungkin 'pekerjaan rumah' terkait isu keharmonisan, toleransi dan keberagaman di Indonesia.

"Misalnya, Jokowi perlu bekerja keras untuk memastikan agar semua umat beragama bisa menyapa Tuhannya dengan khusyuk, tanpa ada intimidasi dari pihak manapun. Jokowi dan tim juga masih perlu bekerja untuk menyembuhkan 'luka' di akar rumput karena konflik Pilpres 2019 yang lalu," ujar dia.

Jokowi juga perlu membangun standar komunikasi publik kepada para pembantunya agar tidak mudah mengucapkan sesuatu yang bisa menyakiti golongan tertentu. Karena ucapan pejabat publik yang tidak berbasis pada data yang valid dan tidak mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat bisa memicu terjadinya ketidakharmonisan.

Sebagai kepala negara anggota negara-negara G-20, Zulkarnain menilai Jokowi sudah sangat pantas tampil sebagai pemimpin kawasan dan dunia. Ketika dunia, termasuk kawasan Asia dihinggapi narasi perpecahan terkait pilihan ke Cina atau AS, Jokowi sudah cocok memberi tawaran untuk tidak memihak salah satunya seperti yang pernah dilakukan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta.

"Sejatinya, menurut saya itu bukan hal baru, Jokowi hanya melanjutkan atau merefleksikan ulang politik luar negeri (polugri) pendiri negeri yang pernah dinarasikan Bung Hatta dengan judul ‘Mendayung di antara Dua Karang’,” kata dia.

Menurut dia, nantinya Jokowi bisa menekankan tentang bagaimana setiap negara bisa mengambil manfaat untuk kepentingan nasionalnya dari semua pihak. "Apalagi mayoritas publik terhipnotis dengan kehadiran Jokowi," ujar dia.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019