Jakarta (ANTARA Ndews) - Seluruh indikator asumsi makro dalam RAPBN 2009 yang telah disampaikan pemerintah kepada DPR RI pada 15 Agustus 2008 berubah akibat perkembangan krisis keuangan global. "Otomatis semua berubah, tetapi perubahan tidak akan banyak menolong karena yang dibutuhkan adalah tindakan cepat," kata Anggota Komisi XI bidang Keuangan dan Anggaran DPR RI Dradjat Hari Wibowo di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis. Pemerintah pada Rapat Paripurna DPR RI, 15 Agustus 2008, mengajukan RAPBN 2009 dan Nota Keuangan 2009 di mana saat itu pemerintah mengajukan asumsi indikator makro ekonomi untuk pertumbuhan ekonomi diperkirakan 6,2 persen dan inflasi 6,5 persen. Rupiah ditetapkan pada kisaran Rp9.100 per dolar AS, SBI untuk tiga bulan sebesar 8,5 persen dan harga minyak mentah 100 dolar per barel. Produksi minyak (lifting) sebanyak 950 ribu barel per hari, sedangkan defisit APBN sebesar Rp99,6 triliun dan penerimaan pajak Rp726,3 triliun atau naik 19,2 persen. Dradjat menilai, asumsi-asumsi itu sudah tidak relevan lagi dibanding keadaan sekarang maupun perkembangan tahun depan, tetapi ia belum memperkirakan berapa besar perubahan dalam asumsi itu karena masih dibahas dengan memperhatikan perkembangan krisis global. Dradjat, ahli ekonomi PAN yang tidak mau menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 2009 mengemukakan, krisis ekonomi 1998 yang ditandai anjloknya nilai tukar rupiah dan runtuhnya harga saham telah menghantui Indonesia. "Yang belum terjadi adalah terciptanya kredit macet di perbankan. Kalau itu terjadi, maka akan terjadi `rush` (penarikan dana masyarakat dari perbankan)," pandangnya. Dradjat menyarankan pemerintah tidak memberlakukan kebijakan uang yang terlalu ketat dengan menaikkan suku bunga bank. "Kita sarankan pemerintah (Menkeu) dan Bank Indonesia (BI) membekukan kenaikan suku bunga bank," katanya. (*)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008