Oleh Mohammad AnthoniJakarta (ANTARA News) - Satu per satu negara anggota Perhimpunan Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) meratifikasi Piagam ASEAN (ASEAN Charter) dan menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya anggota yang masih belum menandatangani dokumen itu. Entah kapan Indonesia akan meratifikasinya. Namun, hal yang pasti, batas akhir ratifikasi pada Desember. Boleh jadi itu hanya soal waktu, karena proses menuju ratifikasi masih berjalan dengan melibatkan pemerintah dan DPR. Sudah 41 tahun ASEAN hadir dan berfungsi di kawasan dan selama itu pula organisasi ini telah memberikan sumbangan tertentu bagi stabilitas dan perdamaian kawasan Asia Tenggara. Sumbangannya antara lain membantu menyelesaikan masalah Kamboja, Sabah, Filipina Selatan. Tapi, ASEAN tidak bisa melakukan sejumlah hal, seperti soal Myanmar, perbatasan Thailand-Kamboja, soal TKI di Malaysia dan pembalakan liar di perbatasan Indonesia-Malaysia. Dalam perjalanannya hingga empat dekade ASEAN belum memilki suatu landasan formal yang berkekuatan hukum, mengingat selama ini kerjasama ASEAN cenderung bersifat informal dengan pendekatan musyawarah mufakat. Oleh karena itu, disusunlah ASEAN Charter yang akan menjadi pedoman. Persoalan ratifikasi piagam ASEAN menjadi isu yang hangat diperdebatkan setidaknya di berberapa negara anggota ASEAN seperti Thailand, Filipina dan Indonesia, yang mempunyai sistem demokrasi berbeda dari beberapa negara anggota lainnya. Pada Selasa (7/10) Filipina meratifikasinya, menyusul Thailand pada September 2008 dan Myanmar, Malaysia, Kamboja, Laos, Vietnam, Singapura dan Brunei Darussalam. Berbagai diskusi diadakan untuk meninjau baik dan buruknya peratifikasian ASEAN Charter, termasuk diskusi para pakar yang diadakan oleh The Habibie Center (THC) bekerja sama dengan ASEAN Studies Center (ISEAS) berjudul "The Road to Ratification and Implementation of the ASEAN Charter: Its Strength and Weaknesses", pada Kamis 17 Juli 2008 di Jakarta. Pada kesempatan tersebut Rodolfo C. Severino, ketua ISEAS yang juga mantan Sekjen ASEAN, mengatakan bahwa ASEAN Charter merupakan "milestone" dalam perjalanan panjang ASEAN, walaupun beberapa pihak cenderung bersikap skeptis terhadap penggunaan dan fungsi piagam tersebut. Pandangan kritis terhadap ASEAN Charter disampaikan Dr. Rizal Sukma dari Pusat Studi Stratgis dan Internasional (CSIS). Ia menyatakan bahwa pandangan tersebut bukan mempertanyakan mengenai perlunya untuk meratifikasi piagam itu melainkan apakah piagam tersebut merupakan bentuk piagam yang ASEAN butuhkan. Di forum diskusi lain yang diadakan CSIS pada pertengahan tahun ini Jusuf Wanandi, seorang pengamat luar negeri, menyebut beberapa kelemahan dari Piagam ASEAN. "Yang paling pokok kekurangan dari piagam itu yang diusulkan untuk diratifikasi DPR ialah mengulangi cara-cara pengaturan ASEAN selama 40 tahun lalu, yang berhasil untuk masa itu tetapi tidak cukup lagi untuk mempersiapkan suatu masyarakat ASEAN di masa depan," kata Wanandi. Menurut dia, ASEAN harus lebih mendalami kerjasamanya dan harus lebih cepat dalam cara-cara pengambilan keputrusan dan inisiatif untuk dapat mengimbangi kekuatan RRC dan India, dan untuk dapat menjadi perintis dalam kerjasama regional di Asia Timur seperti yang diharapkan oleh kawasan. Masih di forum itu anggota DPR-RI, Sutradara Gintings berpendapat musatan ASEAN Charter tidak cukup efektif untuk merealisasikan integrasi ASEAN sebagai komunitas politik dan keamanan, komunitas ekonomi dan komunitas sosial-budaya. Gintings mengatakan faktor-faktor paling signifikan bagi efektivitas integrasi ASEAN adalah sistem pengambilan keputusan, sistem implementasi keputusan, sistem keterlibatan masyarakat bukan negara, berbagai nilai penting seperti Hak Azasi Manusia. "Sistem pengambilan keputusan dengan konsensus, sistem implementasi keputusan dengan konsensus, peluang dan format keterlibatan masayarakat dan jaminan penghormatan HAM serta hak-hak masyarakat ternyata tak menunjukkan kemajuan berarti," ujarnya. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa perkembangan ASEAN akan tetap lambat dan karenanya tidak akan mamadai sebagai pilar utama strategis dalam menghadapi perkembangan internasional ke depan, tambahnya. Namun, mantan Menteri Luar Negeri RI Ali Alatas selaku pembicara kunci dalam diskusi THC dan ISEAS tersebut, mendorong negara-negara ASEAN untuk segera meratifikasi Piagam ASEAN. Ia mengatakan, ratifikasi ini akan memberikan keuntungan bagi ASEAN dan membuat organisasi negara-negara Asia Tenggara ini menjadi lebih kompetitif. "Sehingga bukan tidak mungkin ASEAN dapat memiliki kekuatan ekonomi seperti Amerika, China dan Jepang. Bagaimanapun, piagam ini tidak akan berfungsi jika masih ada anggota yang tidak meratifikasinya," tambahnya. Prof DR Dewi Fortuna Anwar, pengamat internasional dari LIPI dan juga salah seorang Ketua The Habibie Center (THC) menyatakan keyakinannya bahwa proses ratifikasi tersebut pada akhirnya akan terselesaikan. Menurut dia, tertundanya ratifikasi merupakan simbolisasi pertentangan dalam organisasi tersebut. Lebih lanjut Dewi menjelaskan, "Hal tersebut merupakan bagian dari upaya penggeseran tujuan, namun juga harus menyesuaikan dengan agenda domestik negera-negara tersebut." Meskipun jauh dari sempurna, katanya, ASEAN Charter sebaiknya diratifikasi sehingga dapat dilaksanakan dan dalam beberapa waktu kemudian ditinjau kembali dan diperbaiki. Kabar paling akhir tersiar bahwa Indonesia segera meratifikasi ASEAN Charter mengingat pembahasan dengan DPR berlangsung lancar dan sesuai jadwal yang ditentukan. DPR dan pemerintah telah menuntaskan seluruh pembahasan rancangan ratifikasi piagam ini. Rapat pansus Komisi I DPR yang dipimpin Ketua Pansus Marzuki Darusman di gedung DPR/MPR pada Rabu berakhir dengan penandatanganan hasil ratifikasi RUU tentang pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dan Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu serta fraksi-fraksi dan pimpinan Komisi I. Setelah pembahasan tuntas di Komisi I, maka selanjutnya akan segera diajukan dalam Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi UU. Harapan Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan, yang disampaikan beberapa waktu lalu agar Indonesia dan Filipina segera meratifikasi piagam tersebut sebelum pertemuan puncak ke-14 ASEAN di Bangkok, Thailand, pada Desember 2008, semakin mendekati kenyataan. Tak lama lagi, semua negara anggota ASEAN meratifikasi dokumen itu yang ditandatangani para pemimpin perhimpunan itu ketika bertemu di Singapura November lalu. Perdebatan sengit mengenai soal itu pun menyurut di Indonesia karena, seperti kata Dewi Fortuna Anwar: "Suatu negara demokrasi harus melalui proses di parlemen untuk ratifikasi. RI harus hati-hati meratifikasi karena memang ada hal-hal yang menjadi sorotan dan RI jadi gawang demokrasi ASEAN." (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008