New York, (ANTARA News) - Harga minyak mentah "rebound" pada perdagangan Selasa waktu setempat, karena pasar berspekulasi tentang penurunan produksi OPEC dan penurunan suku bunga bersama oleh bank-bank sentral untuk menghadapi krisis finansial global. Sebagaimana dilaporkan AFP, kontrak utama New York, minyak mentah jenis light sweet untuk pengiriman November, meningkat 2,25 dolar AS menjadi ditutup pada 90,06 dolar AS per barrel pada Selasa. Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman November naik 98 sen menjadi mantap pada 84,66 dolar AS per barrel. Minyak mentah menukik di bawah 90 dolar AS per barrel pada Senin, mencapai posisi terendah delapan bulan, karena gejolak finansial global yang kian mendalam dan jatuhnya pasar-pasar saham meningkatkan kekhawatiran tentang pelambatan permintaan energi. Tetapi, harga minyak naik kembali pada Selasa, setelah Libya menyerukan para produsen minyak mentah mengurangi produksinya untuk melindungi pendapatan mereka jika pasar terus diperdagangkan pada level saat ini. Minyak mentah berjangka dalam beberapa hari terakhir ini diperdagangkan di kisaran 80-95 dolar AS per barrel, jauh di bawah rekor tertingginya 147 dolar AS yang terjadi pada Juli. "Jika level harga ini berlanjut, kami serius untuk menurunkan produksi kami dan meyerukan negara-negara anggota OPEC lainnya, serta negara-negara produsen non-OPEC, untuk menurunkan produksi mereka guna mengamankan pendapatan mereka," kata Shukri Ghanem dalam sebuah wawancara melalui telepon. "Kami sangat mengkhawatirkan penurunan harga ini," tambah Ghanem, yang merupakan perwakilan Libya dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), kartel 13-negara yang memasok sekitar 40 persen minyak mentah dunia. "Kami berpikir bahwa semua negara produsen akan mengambil langkah sama dan akan mencoba berbuat sesuatu untuk menghentikan gangguan harga ini," kata Ghanem, yang juga ketua dari Libyan National Oil Corporation. Ghanem juga mengatakan ia akan mendorong sebuah pertemuan darurat para menteri perminyakan OPEC untuk membicarakan isu tersebut. Pada September, OPEC memutuskan untuk memangkas produksinya 520.000 barrel minyak mentah per hari, untuk menjaga harga agar tetap di atas 100 dolar AS per barrel. Phil Flynn dari Alaron Trading mengabaikkan dampak dari setiap penurunan produksi OPEC. "Sekalipun mereka menurunkan produksi pasar tidak akan peduli" melebihi rally beberapa hari karena permintaan tidak akan berkelanjutan, kata Flynn. "Ekonomi sedang kacau tidak akan membayar tinggi harga artifisial untuk minyak untuk jangka panjang dan konsumsi akan menurun," kata dia. Sebuah laporan bulanan departemen energi AS (DoE) Selasa, mengatakan harga minyak mentah New York diperkirakan mencapai rata-rata 112 dolar AS per barrel pada 2008 dan 2009. Sebelumnya untuk 2009 diperkirakan mencapai 126 dolar AS per barrel. "Krisis finansial saat ini akan mendorong harga minyak terus melemah," kata DoE. Pasar juga didorong oleh berkembangnya harapan bahwa bank sentral akan menurunkan suku bunganya dalam upaya meredam gejolak di pasar-pasar finansial. "Harga minyak naik di tengah aksi beli tehnikal, dan berkembangnya optimisme bank-bank sentral akan menurunkan suku bungan untuk mengurangi kecemasan, setelah Bank Sentral Australia menurunkan suku bunganya hingga 1,0 persen," kata analis dari Sucden, Nimit Khamar. Ketua Federal Reserve Ben Bernanke mengatakan bank sentral AS harus mempertimbangkan apakah kebijakan suku bunga saat ini "masih tepat" di tengah pasar finansial yang bergejolak. Bernanke, dalam pidatonya kepada para pelaku usaha di Washington, memberikan isyarat bahwa the Fed dapat menurunkan suku bunganya untuk menahan meluasnya krisis finansial. Bank sentral Australi menurunkan suku bunga utamanya satu persetase poin penuh menjadi 6,0 persen, yang mengejutkan ekspektasi pasar turun lebih moderat. Untuk para investor, melemahnya suku bunga "akan membatu mendorong permintaan minyak ke depan," kata Andy Lipow dari Lipow Oil Associates. Harga minyak mentah telah turun sekitar 40 persen sejak mencapai rekor tertinggi di atas 147 dolar AS pada Juli, di tengah kekhawatiran melemahnya pertumbuhan ekonomi dan melambatnya permintaan.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008