Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pasar uang, Edwin Sinaga, mengatakan rupiah diperkirakan sampai akhir Oktober akan bisa mencapai angka Rp10.000 per dolar AS, karena pelaku pasar lokal, khususnya asing, dengan segera menarik dananya dan segera membeli dolar AS. "Penarikan dana asing yang ditempatkan di pasar domestik merupakan faktor utama merosotnya rupiah yang pada akhir bulan ini diperkirakan akan bisa mencapai angka Rp10.000 per dolar AS," kata Edwin, yang juga dirut PT Finan Corpindo di Jakarta, Selasa Dikatakannya, rupiah saat ini masih "liar" bisa saja dalam akhir pekan ini mencapai angka Rp10.000 per dolar AS, karena pasar masih sangat panik dan sulit dijaga serta dikendalikan. Karena itu, Bank Indonesia (BI) diharapkan masuk pasar mengawal mata uang lokal tersebut, meski untuk sementara BI kemungkinan hanya akan mengamati gejolak tersebut akibat kuatnya tekanan pasar itu, ucapnya. Menurutnya, BI akan masuk pasar apabila tekanan mulai menguat, sehingga bisa mengurangi tekanan pasar lebih lanjut, dan rupiah tidak akan terpuruk lebih jauh. BI rate Untuk mengatasi tekanan itu, BI kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuannya, BI Rate, yang diperkirakan sebesar 25 basis poin menjadi 9,5 persen, setelah inflasi September mencapai 0,97 persen, katanya. Ia mengatakan, kenaikan BI Rate itu diharapkan akan menarik kembali dana asing yang sudah keluar, karena selisih bunga rupiah dengan dolar AS semakin besar. Ini merupakan salah satu daya tarik investor asing itu dapat kembali menginvestasikan dananya di pasar domestik, ujarnya. Ia mengatakan, krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang berdampak besar kepada Jepang dan Singapura kemungkinan besar yang mengimbas kepada Indonesia, karena negara Sakura itu merupakan pasar utama ekspor Indonesia. Krisis keuangan dunia itu saat ini memang masih belum berpengaruh besar. Namun kedepan dikhawatirkan akan memberikan dampak yang lebih besar, sehingga pemerintah harus terus mewaspadai pergerakan pasar lebih lanjut, ucapnya. Pemerintah sendiri berusaha untuk dapat menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas enam persen, dengan melakukan berbagai kebijakan seperti mempercepat turunnya/ cairnya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dalam tiga bulan terakhir ini. Selain itu juga memperkuat sektor riil agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lebih jauh dan memperlonggarkan likuiditas pasar yang masih ketat, katanya. Apalagi, lanjut dia harga minyak mentah mentah dunia saat ini berada dibawah angka 90 dolar AS per barel, baik harga minyak London maupun Singapura. Kondisi seperti ini diharapkan akan terus terjadi bahkan harga minyak mentah kembali melemah yang didukung dengan turunnya harga komoditas, ucapnya. Edwin Sinaga mengatakan, pemerintah dan dunia usaha harus bekerja sama untuk tetap mendorong pertumbuhan ekonomi nasional tumbuh sesuai dengan target. Karena gejolak krisis keuangan global yang terjadi ini masih belum dipastikan kapan akan berakhirnya, katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2008