Indonesia juga harus memiliki current account deficit (defisit transaksi berjalan) yang friendly (ramah) untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5-6 persen

Jakarta (ANTARA) - Kepala Ekonom DBS Bank Masyita Crystallin menilai defisit transaksi berjalan (current account defiict/CAD) tidak boleh dibiarkan terus melebar dengan beban impor yang tinggi, jika pemerintah ingin pertumbuhan ekonomi dapat tumbuh sesuai potensi di sekitar 5,5-6 persen.

Pertumbuhan ekonomi 5,5-6 persen, kata Masyita, dibutuhkan Indonesia agar Tanah Air keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

"Indonesia juga harus memiliki current account deficit (defisit transaksi berjalan) yang friendly (ramah) untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5-6 persen di atas potensi, sehingga dapat keluar dari middle income trap," ujar Masyita mengenai prospek ekonomi 2020 di Jakarta, Kamis.

Sementara Bank Indonesia menjaga defisit transaksi berjalan untuk tidak melebihi tiga persen dari PDB. Di kuartal III 2019, defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 2,7 persen PDB atau sebesar 7,7 miliar dolar AS.

Mengenai prospek ekonomi 2020, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman menjelaskan kondisi ekonomi dan politik pada 2019 adalah masa yang suram dengan berbagai tekanan dari dinamika perang dagang China dan Amerika Serikat (AS), krisis politik di Hongkong yang menyebabkan demo berkepanjangan, dan gelombang protes di Chile yang dipicu kenaikan harga tiket subway.

Untuk 2020, kata Luky, Indonesia perlu menetapkan manuver dan navigasi yang baik di tengah proyeksi perlambatan ekonomi global.

Pada 2020 pemerintah ingin mencapai pertumbuhan yang inklusif, yang artinya dapat dinikmati semua masyarakat. Pertumbuhan ini diukur dengan tingkat kemiskinan, di mana saat ini Indonesia telah berhasil mencapai satu digit, di bawah 10 persen. Selain itu juga angka pengangguran mencapai 5 persen dan rasio gini sebesar 0,384.

Pemerintah juga berupaya untuk menjaga inflasi dan nilai tukar dan tumbuh dengan baik di atas lima persen.

Luky mengatakan lima prioritas Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini adalah membangun Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur, penyederhanaan regulasi, birokrasi yang efisien dan transformasi ekonomi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk segera melakukan penyederhanaan peraturan melalui Omnibus Law, mengelompokkan beragam isu ke dalam legislasi yang ditujukan untuk menciptakan lapangan kerja dan memberdayakan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

"Sektor prioritas Omnibus Law adalah perpajakan, penciptaan lapangan kerja, dan keuangan," ujar Luky.

Baca juga: Profesor ADB beberkan cara agar RI tak kena "middle income trap"

Baca juga: Optimalkan "super deduction tax", Wamenkeu harap produksi tak pindah

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019