Jakarta (ANTARA News) - Ada virus yang bergentangan lewat pesan pendek di momen Lebaran. Virus itu tak mematikan malah positif bagi pengembangan intelektual seseorang. Virus itu berbentuk rangkaian kata, yang senganja diuntai bak puisi, yang ujung-ujungnya berupa ucapan mohon maaf lahir batin, "minal aidin wal faizin". Menyampaikan ucapan mohon maaf lahir batin, lewat SMS kini sudah jamak seiring dengan membiaknya kepemilikan ponsel. Di tempat-tempat umum, orang boleh tak punya arloji atau cincin tapi jangan sampai tak punya ponsel. Apalagi untuk kalangan anak muda. Itu sebabnya, menyampaikan ucapan maaf lahir batin atau menjawabnya lewat ponsel semakin membudaya. Jika aktivitas saling bermaafan itu dilakukan lewat kontak fisik, bukan lewat media ponsel, para pelakunya memulainya dengan saling menyapa, saling senyum lalu saling bermaafan dan setelah itu berbasa-basi sekenanya atau tukar informasi. Tapi bagaimana jika kontak itu tak dilakukan secara fisik alias dilakukan lewat SMS seperti yang kini kian mewabah? Untuk mengucapkan maaf lahir batin secara langsung agaknya terasa hambar maka sang penyampai pun perlu berbasa-basi lewat pantun atau puisi. Ermi Ardi, seorang karyawan di Sekretariat Jenderal DPR, yang sehari-harinya tak pernah menulis puisi atau membaca sajak penyair kontemporer, menulis ucapan mohon maaf dengan untaian kata berikut: "Untuk lisan yang tak terjaga/Untuk hati yang berprasangka/Untuk laku yang bikin kecewa/ Bukakan pintu maaf lahir batin, minal aidin wal faizin." Ketika ditanya kenapa harus menggunakan gaya puitis untuk mengucapkan maaf lahir batin di momen Lebaran, Ermi yang mengaku tak pernah membeli buku puisi itu mengatakan: " Biar lazim saja. Kan sudah jadi kebiasaan orang merangkai kata sebelum mengucapkan minal aidin wal faizin." Ermi menambahkan, tidaklah muda untuk menyusun kata-kata yang puitis dan ritmis di telinga. "Tapi sekarang kan banyak acara lawak di teve yang pakai pantun. Kita bisa mengikuti pola pantun untuk mengucapkan maaf lahir batin," tuturnya. Seuntai kata ucapan maaf lahir batin yang dikirim Gatot Prajoso, supir angkutan kota jurusan UKI-Pasar Rebo berbunyi sebagai berikut: "Sebelum mata menutup abadi, sebelum detak jantung berhenti, aku pinta maaf yang fitri. Minal adin wal faizin." Seperti Ermi yang jauh dari bacaan puisi, Gatot yang lulusan sekolah menengah atas adalah sosok yang tak kenal para penyair. Dia mengaku pernah mendengar nama WS Rendra tapi tak pernah membaca puisi-puisinya. "Dorongan saya menulis ucapan selamat Lebaran dan mohon maaf seperti gaya pantun semata-mata karena orang lain melakukan hal serupa," katanya. Ucapan maaf lahir batin kadang juga diwujudkan dalam "puisi" yang liberal, tak mementingkan sanjak tapi mengandung informasi historis. Inilah ucapan yang ditulis seorang Nasrani, Peter Tukan, kepada sahabat Muslimnya: "Dalam iman monoteisme yang diwariskan Ibrahim, dalam semangat persaudaraan sejati anak cucu Ibrahim, kami sekeluarga mendatangi opa, oma, bapak, ibu dan saudara serta sahabat seraya mengulurkan tangan, menyatukan hati mengucapkan Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir Batin." "Puisi" yang diuntai Peter adalah semacam pengetahuan historis yang mengingatkan bahwa antara pengikut Kristen dan Islam berasal dari pohon yang sama. Ini bisa mengingatkan orang pada kredo religiusitas Mahatma Gandhi. Bagi spiritualis yang juga tokoh kemerdekaan India itu, Tuhan ibarat batang pohon, agama adalah dahan, sekte agama adalah ranting dan umat manusia adalah daun.Kecenderungan naluriah Tampaknya, momen Lebaran dan hadirnya teknologi ponsel memberikan ruang bagi rakyat untuk berkreasi olah kata sebagai media mengungkapkan perasaan dan pikiran manusia. Ekspresi puitis sebenarnya salah satu dari kecenderungan naluriah manusia. Di masa silam, di masyarakat tradisi, kecenderungan itu diwujudkan dalam bentuk pantun untuk masyarakat Melayu, nyanyian rakyat, atau soneta di masyarakat Eropa. Kitab-kitab suci pun mengandung untaian kata puitis, setidaknya narasi yang dikemas dalam kata-kata yang estetis. Jika ditinjau dari konteks religiusitas, ucapan maaf lahir batin, yang terkait langsung dengan eksistensi ketuhanan, bisa dimaknai sebagai ikhtiar manusia untuk mengagungkan kebesaran Illahi. Lebaran punya dimensi spiritual. Itu sebabnya, kadang ucapan selamat Lebaran juga diiringi dengan sepotong doa. Meskipun dunia perpuisian di Indonesia mempunyai penyair-penyair kondang dengan sajak-sajak religius mereka yang mengundang decak kagum, para penulis sajak ucapan selamat Lebaran tak banyak yang mencomot untaian kata dari penyair kondang macam Taufiq Iamail, atau Abdul Hadi WM. Mereka lebih memilih menciptakan puisi orisinal sambil menyadari betapapun kurang maksimal hasilnya. Orisionalitas dan spontanitas dinilai lebih penting. Kecenderungan mengucapkan maaf lahir batin lewat SMS dengan gaya berpuisi ini memang tak semata menghadirkan aspek positif. Ada yang hilang bersamaan dengan hadirnya ponsel, yakni ruang berkreasi pelukis dan disainer kartu ucapan selamat Lebaran. Sebelum ponsel memasyarakat, kartu-kartu semacam itu digandrungi dan diburu banyak peminat. Kini hanya beberapa orang yang masih memanfaatkan kartu ucapan selamat untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran di kala Lebaran. Sebetulnya kecenderungan baru menulis ucapan selamat dan mohon maaf lahir batin dengan pola pantun atau puisi bisa juga membuka peluang baru bagi kreator kata-kata, yakni membuat buku yang berisi kumpulan kata-kata ucapan selamat dan mohon maaf lahir batin secara puitis. Bagi sang kreator, sejuta untaian kata bisa diciptakan dan diperdagangkan. Di zaman instan seperti sekarang, kalau di toko ada buku yang menyediakan rangkaian kata indah ucapan selamat, pasti banyak orang akan membeli dari pada susah mikir yang bisa bikin pusing. Buktinya: buku yang berisi nama-nama indah untuk bayi yang baru dilahirkan juga punya konsumennya sendiri. Hanya segelintir orang yang akan bertahan untuk lebih mencintai orisinalitas, selebihnya lebih suka memanfaatkan yang ada, yang gampang diperoleh, meski dengan mengorbankan lembaran rupiah. (*)

Oleh Oleh Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2008