Jakarta (ANTARA) - Tanpa disangka-sangka, Joko Widodo yang baru saja dilantik untuk masa jabatan kedua sebagai Presiden Republik Indonesia tahun 2019-2024 angkat suara tentang masalah masa jabatan presiden serta apakah kepala negara tetap dipilih langsung oleh rakyat ataukah "cukup" oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Pada hari Senin, 2 November 2019, Jokowi mengungkapkan bahwa dirinya tetap menginginkan supaya pemilihan presiden (pilpres) tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat. Komentar ini dikeluarkan mantan gubernur DKI Jakarta itu karena ada wacana dan usulan supaya pemilihan presiden dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di MPR.
Sementara itu, juga ada usul agar jika saat ini masa jabatan presiden adalah maksimal dua kali maka diusulkan supaya bisa menjadi tiga kali (tiga periode). Jika saat ini, masa jabatan presiden dan wakil presiden lima tahun maka ada wacana masa memerintah diubah menjadi tujuh atau delapan tahun.
Mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, ini menduga bahwa usul tentang penambahan masa jabatan kepala negara dan cara memilihnya adalah karena ada orang-orang tertentu yang ingin "mencari muka" terhadap dirinya atau pun malahan menjerumuskannya. Bahkan disebutnya ada pihak tertentu yang ingin "menamparnya".
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj pernah mengungkapkan bahwa pemilihan presiden-wapres secara langsung telah menimbulkan biaya sangat tinggi.
Baca juga: Ketum PP Pemuda Muhammadiyah nilai mubazir amendemen terbatas UUD 1945
Akan tetapi, rakyat Indonesia pasti tidak akan bisa melupakan bahwa pada pemilihan presiden dan juga pemilihan anggota-anggota DPD, DPR hingga DPRD provinsi, kota hingga kabupaten telah mengakibatkan ratusan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) kehilangan nyawa mereka atau meninggal dunia. Mereka wafat pada umumnya karena bekerja terlalu keras.
Sekalipun pilpres baru akan berlangsung lima tahun lagi atau tahun 2024, ternyata semua partai politik serta politisi sudah mulai bersiap-siap dengan menempuh berbagai cara mulai melalui sidang-sidang MPR, melalui pemilihan pengurus parpol hingga melempar isu-isu yang pada akhirnya Cuma memusingkan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca juga: Jokowi: Ada yang mau cari muka usulkan presiden 3 periode
Perlukah amendemen?
Dalam jumpa pers itu, Presiden Joko Widodo mengusulkan supaya tidak dilakukan amendemen terhadap UUD 1945, tapi para wakil rakyat di MPR bersama pemerintah untuk memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah yang amat mendesak untuk dipecahkan guna memecahkan kesulitan ratusan juta rakyat Indonesia.
Perubahan masa jabatan presiden serta siapa yang memilih kepala negara, menurut Wakil Ketua MPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid, masih menjadi wacana atau pemikiran para pakar atau pun politisi sehingga belum disampaikan secara resmi kepada MPR.
MPR saat ini adalah salah satu dari beberapa Lembaga negara selain Lembaga kepresidenan, BPK, MA,MK hingga DPR sedangkan dahulu MPR menjadi Lembaga negara tertinggi.
Karena MPR hanya bersidang secara resmi satu kali setahun yakni sekitar bulan Agustus yang diwarnai sidang-sidang komisi-komisi, maka pertanyaan yang bisa muncul pada masyarakat adalah apakah begitu mendesaknya amendemen UUD 1945 serta apakah harus diputuskan saat ini juga?
Pertanyaan yang juga bisa muncul pada benak rakyat adalah apakah para wakil rakyat di MPR semuanya tanpa kecuali benar-benar memikirkan sedikitnya 260 juta orang Indonesia ataukah cuma memikirkan bagaimana caranya memenangkan pemilu yang masih lima tahun lagi dan kemudian menjadi anggota MPR, DPR hingga memangku jabatan-jabatan Menteri?
Baca juga: Perlu konsensus sebelum amendemen UUD NRI Tahun 1945
Masyarakat di Tanah Air pasti menyadari bahwa tidaklah gampang untuk menjadi wakil rakyat di Lembaga-lembaga perwakilan terutama di DPD, DPR. Calon-calon anggota Lembaga-lembaga legislatif itu selain harus merupakan politisi yang hebat maka mereka juga harus memiliki "logistik" (baca: uang) yang cukup.
Untuk menjadi anggota DPR RI, misalnya, harus berkampanye di sebuah provinsi yang pasti memerluan duit yang "segudang".
Sementara itu, untuk masuk ke dalam daftar calon sementara (DCS) saja, seseorang peminat harus bersaing dengan begitu banyak calon wakil-wakil rakyat dari daerah pemilihan sementara.
Jadi, untuk meraih kursi di DPR,DPD hingga DPRD diperlukan kerja keras, kemudian "bergepok-gepok" uang terutama untuk berkampanye hingga kedekatan dengan para pimpinan parpaol di tingkat DPC,DPD hingga DPP. Jadi untuk meraih kursi sebagai wakil rakyat lima tahun lagi seseorang harus mulai bersiap-siap sejak sekarang.
Apabila sudah menjadi wakil rakyat maka tugas paling berat adalah bagaimana berjuang secara politik untuk memperjuangkan nasib dan aspirasi rakyat, belum lagi ditambah target-target yang pasti ditetapkan oleh pimpinan partai politiknya.
Karena sekarang anggota-anggota MPR dan juga DPR sudah mulai bekerja apakah memang mereka itu berasal dari kalangan politik, artis, olahragawan hingga akademisi maka telah tiba saatnya mereka untuk memeras keringat, misalnya, benarkah betul-betul diperlukan amendemen terhadap UUD 1945? Kemudian apakah perubahan konstitusi itu cukup sebagian saja (amendemen terbatas), ataukah perubahan secara menyeluruh?
Karena Presiden Jokowi sudah menyatakan tidak atau belum perlu amendemen UUD 45 maka bagaimanakah reaksi para wakil rakyat? Apakah pernyataan Jokowi itu akan "didukung" penuh oleh Senayan ataukah harus dicari kompromi atau jalan tengah supaya bisa memuaskan eksekutif dan juga legislatif.
Baca juga: Pimpinan MPR diskusi amendemen UUD 1945 dengan PBNU
Jadi, tugas-tugas wakil rakyat di DPD, MPR hingga DPR dan DPRD pada hari-hari mendatang sangat berat karena harus disadari bahwa di pundak mereka terdapat amanah atau tugas-tugas yang diberikan rakyat.
Jika dahulu masyarakat mungkin cukup mendambakan sandang, pangan serta papan maka karena tingkat pendidikan rakyat semakin tinggi maka ada tugas tambahan yaitu menyalurkan aspirasi politik.
Jokowi telah menggambarkan bahwa amendemen belum diperlukan saat ini, maka semua wakil rakyat di seluruh lembaga legislatif harus berpikir tenang supaya "kesemrawutan" dan hingar bingar politik tidak berlarut-larut, sebab sebagian nasib puluhan juta orang Indonesia masih hidup jauh dari berkecukupan.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara presiden tahun 1987-2009
Copyright © ANTARA 2019