Sumbawa Barat, NTB (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat Barisan Muda Membangun Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) menyebutkan penggunaan merkuri atau air raksa akibat aktivitas penambangan tanpa izin (PETI) mengancam warga di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama ini konsen menyoroti persoalan PETI di KSB, mengungkapkan penggunaan bahan kimia merkuri atau air raksa dari para penambang liar sudah pada taraf yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup warga dan lingkungan di Sumbawa Barat, NTB.

"Sekarang yang menjadi masalah di Sumbawa Barat limbah merkuri hasil penambangan tanpa izin (PETI)," kata Ketua LSM Barisan Muda Membangun KSB, Faozan Azima didampingi Sekretaris Barisan Muda Membangun, Zulkarnaen di Taliwang, Selasa.

Baca juga: Penambangan liar ancam tahura jambi

Menurutnya, selama ini limbah merkuri dari hasil proses gelondong dan tong oleh para penambang dibuang sembarangan. Meski di lokasi gelondong dan tong dibuatkan bak-bak penampung lumpur, tetap saja seluruh limbah dari gelondong dan tong dibuang ke sungai. Salah satu sungai yang dinilai sudah tercemar di KSB, sungai Brang Rea.

"Kalau tidak ke sungai dibuang begitu saja di sembarang tempat," terangnya.

Faozan mengakui, jumlah penambang liar di Sumbawa Barat mencapai ribuan orang. Selain warga KSB, para penambang ini bukan asli KSB. Khususnya mereka yang menjadi teknisi.

"Kalau dari luar KSB ini rata-rata pendatang dari Tasikmalaya dan Manado. Kalau orang KSB mereka ini disebut teknisinya," ucap Faozan.

Berdasarkan data Barisan Muda Membangun KSB, jumlah gelondong di KSB pada tahun 2014 sebanyak 6.019 unit dan jumlah tong sebanyak 100 unit.

Keberadaan gelondong dan tong ini tersebar di Sumbawa Barat yang terbagi dalam beberapa zona penambangan. Terbanyak di daerah Taliwang, Breang Rea dan Seteluk, dan Jereweh.

Baca juga: Kerusakan infrastruktur Sungai Brantas kian mengkhawatirkan

Faozan mengatakan untuk memperoleh merkuri para penambang membelinya secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari aparat penegak hukum. Meskipun diawal-kemunculan PETI di KSB di tahun 2010, warga masih sangat mudah mendapatkan bahan merkuri. Karena dijual tidak seketat saat ini.

"Kalau pun sekarang sudah diperketat ada saja masih lolos. Makanya dugaan kita penjualan merkuri di KSB dibekingi oleh aparat penegak hukum," tegasnya.

Terkait masih beredarnya merkuri ini, pihaknya juga telah meminta aparat kepolisian untuk menindak bila ada aparat penegak hukum yang membekingi penjualan merkuri di KSB. Bahkan, selain menindak para penjual merkuri, pihaknya pernah memberikan rekomendasi kepada Pemda Sumbawa Barat untuk menghentikan aktivitas pertambangan ilegal tersebut. Kalau pun tidak bisa dihentikan ada upaya untuk melokalisir tambang rakyat tersebut supaya memudahkan pengawasan.

Beberapa usulan tersebut, di antaranya dibentuknya sistem inti plasma kerjasama dengan perusahaan selaku yang memiliki konsesi lahan. Tambang-tambang rakyat dimintakan setoran pajak untuk menambah PAD. Perketat penjualan merkuri, perketat penjualan solar untuk digunakan pada mesin gelondong, tutup aktivitas tong dan menutup toko-toko emas. Namun, dari beberapa rekomendasi tersebut yang bisa berjalan hanya pengetatan penjualan merkuri, sedangkan lain tidak ada yang berjalan sama sekali.

"Yang sudah berjalan ini pengetatan merkuri tapi masyarakat teriak," ucapnya.

Ia tidak manampik secara ekonomi keberadaan PETI di KSB sangat menguntungkan bagi perekonomian warga. Sebab, para penambang tidak lagi merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, di sisi lain dari aspek lingkungan sangat merugikan, meski efek yang ditimbulkan merkuri tidak langsung dirasakan masyarakat karena butuh proses hingga belasan dan puluhan tahun.

"Mungkin dampaknya tidak sekarang, karena masih jauh. Cuman kalau ini dibiarkan akan berbahaya untuk kelangsungan hidup manusia dan lingkungan," katanya.

Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019