Oleh Edy Supriatna Sjafei Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah kelompok Muslim di Indonesia telah menentukan awal bulan Syawal 1429 Hijriyah, yang sekaligus menandai Idul Fitri tahun ini, secara berbeda. Padahal, Sidang Itsbat penentuan 1 Syawal 1429 Hijriyah yang dilakukan Departemen Agama (Depag RI) pada Senin (29/9) di Jakarta kala itu belum lagi usai. Alasan yang menjadi dasar hukum sejumlah kelompok itu pun beragam. Apakah dasarnya kuat atau tidak, itu soal lain. Namun, hal yang jelas adalah sidang itsbat yang harus menjadi patokan atau rujukan bagi Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam dirasakan menjadi kurang bermakna. Padahal, penentuan 1 Syawal merupakan urusan resminya pemerintah di negeri ini. Di negara yang mayoritas penduduknya muslim, penetapannya dilakukan oleh otoritas negara, seperti Menteri Agama, Mufti, Dewan Mahkamah Tinggi atau raja. Masyarakat muslim tak perlu bersusah-payah menentukan awal Ramadhan dan akhir bulan Hijriyah. Kewajiban masyarakat muslim adalah mengindahkan pengumuman pemerintah, seperti firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 59 dan menaati Sabda Nabi Muhammad SAW. Hanya di negara muslimnya minoritas, otoritas penetapan awal dan akhir Hijriyhah diserahkan kepada organisasi masyarakat Islam setempat. Di sejumlah negara berpenduduk Muslim, penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawal merupakan otoritas atau menjadi domain negara, seperti Menteri Agama, Mufti, Dewan Mahkamah Tinggi atau raja setempat. Di Indonesia, otoritas negara ada pada pemerintah, yaitu Menteri Agama dengan perangkat sidang itsbat, kata Menag. Nyatanya, harapan dan kenyataan masih jauh. Al Muhdlor di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, mengambil inisiatif dan menetapkan 1 Syawal 1429 Hijriyah jatuh pada hari Minggu, 28 September 2008. Setelah itu jemaah tarekat Naqsyabandiyah Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Senin, menyelenggarakan Idul Fitri 1429 Hijriah. Berikutnya organisasi massa (ormas) Islam jemaah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menetapkan 1 Syawal pada Selasa, 30 September 2008. Di hari yang sama, jemaah rambut pirang An Nazir, Bontomarannu, di Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan, melaksanakan shalat Idul Fitri. Padahal jauh hari Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni berharap 1 Syawal 1429 Hijriyah tidak terjadi perbedaan. "Seluruh ahli hisab telah sepakat 1 Syawal 1429 H itu jatuh pada tanggal 1 Oktober 2008. Kita berharap mudah-mudahan rukyah pun demikian," ujar Menag Maftuh Basyuni di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Sabtu (27/9), usai melakukan perjalanan dinasnya di Saudi Arabia. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sidang itsbat biasa dihadiri para ahli rukyah dan ahli hisab baik dari organisasi masyarakat (Ormas) Islam dan pemerintah. "Insya Allah, itsbat kali ini, semua bisa sama harinya. Sudah tidak ada lagi perbedaan seperti pada tahun-tahun sebelumnya," katanya berharap. Hasil sidang itsbat itu sendiri, seperti yang diduga, menetapkan 1 Syawal 1429 H. Perhitungan dari Ormas Islam Muhammadiyah dan perkiraan dari pengurus Nahdlatul Ulama (NU), 1 Syawal 1429 H jatuh pada 1 Oktober 2008. Terlepas dari hasil keputusan sidang itsbat, kini yang menarik adalah banyak Ormas Islam menetapkan 1 Syawal berbeda-beda itu punya argumentasi atau dasar hukum yang berbeda-beda pula. Seperti jemaah Al Muhdlor di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menetapkan 1 Syawal 1429 Hijriyah jatuh pada 28 September 2008. Alasan yang dikemukakan lantaran memulai puasa dua hari sebelum Depag memutuskan awal Ramadan 1429 Hijriyah yang jatuh pada 1 September 2008 lalu. Sekitar 40 orang jemaah tersebut menggelar salat Ied di Masjid Al Muhdlor, Desa Wates, Minggu pagi namun mereka tidak mengumandangkan takbiran lazimnya dilakukan sebelum menjalankan ritual salat Ied di masjid-masjid. Menurut pengurus Jemaah Al Muhdlor, Sulthon, pihaknya sengaja tidak mengumandangkan takbiran untuk menghindari gejolak sosial di desa tersebut. "Kami khawatir akan menimbulkan konflik di masyarakat. Untuk itu kami sengaja tidak mengumandangkan takbiran saat salat Ied tadi pagi," Sulthon mengemukakan alasannya. Jemaah Al Muhdlor salat Ied lebih dulu itu lantaran memulai puasa dua hari sebelum Departemen Agama (Depag) RI memutuskan awal bulan Ramadan 1429 Hijriyah yang jatuh pada tanggal 1 September 2008 lalu. "Jadi, wajar kalau kami merayakan Idulfitri lebih dulu dibandingkan dengan kaum muslimin yang lainnya. Kami menetapkan awal puasa juga melalui hisab," Sulthon menambahkan. Pihaknya mengaku punya metode hisab tersendiri. "Sejak dulu kala, jemaah ini memiliki metode hisab tersendiri yang berbeda cara penghitungannya dengan hisab-hisab lainnya," katanya menegaskan. Jemaah Al Muhdlor yang tumbuh dan berkembang di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol itu dulunya dirintis oleh Habib Ahmad bin Salim Al Muhdlor. Sampai sekarang Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat belum menemukan adanya unsur sesat dalam ajaran tersebut sehingga Jemaah Al Muhdlor dibiarkan tumbuh dan berkembang. Pengikut jemaah ini sampai sekarang masih ada, kendati hanya puluhan orang, kata para warga setempat. Meskipun puluhan pengikut Jemaah Al Muhdlor telah lebaran lebih dulu, namun mayoritas warga Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol masih tetap menjalankan ibadah puasa. Pada umumnya warga desa itu menunggu keputusan pemerintah mengenai jatuhnya 1 Syawal 1429 Hijriyah. Berikutnya, Senin (29/9), umat Muslim pengikut jemaah tarekat Naqsyabandiyah Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) menyelenggarakan shalat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriah di musalla Baitul Makmur dan Surau Baru, Kecamatan Pauh Padang. Ratusan orang pengikut jemaah Naqsyabandiyah yang dalam jumlah besar kalangan muslim lanjut usia itu, mengikuti pelaksanaan shalat Ied di Musalla Baitul Makmur dan Surau Baru Padang. Alasan pengurus Surau Baru, Kecamatan Pauh Padang, Syahbadar mengatakan, menggelar shalat Ied pada (29/9) karena dalam penetapan 1 Syawal 1429 Hijriah berdasarkan bilangan malam dan hitungan berpuasa cukup 30 hari. "Kami mulai puasa Ramadhan khusus di Surau Baru, dua hari lebih awal dari penetapan hari pertama puasa oleh pemerintah, jadi hitungan puasa tepat pada (28/9) sudah sampai 30 hari," katanya. Kendati, jemaah tarekat Naqsyabandiyah pelaksanaan syariat puasa, shalat Ied-nya dan ibadah lainnya sama dengan umum muslim lainnya, jelas dia, perbedaan hanya dalam penentuan hari saja. Rata-rata jemaah tarekat Naqsyabandiyah di Kota Padang jumlahnya sekitar 50-an orang di masing-masing musalla. Usai melaksanakan shalat Ied, mereka bersalam-salaman dan masing-masing jemaah menggelar doa selamatan di rumahnya. Jemaah musalla Baitul Makmur, jumlah terlihat lebih banyak atau hampir 100-an yang mengikuti shalat Ied, dibanding dengan malam takbiran yang dilangsungkannya pada Minggu (28/9) malam. Namun berbeda dengan pengikut jamaah tarekat Na`sabandiyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Mereka justru akan ikut keputusan pemerintah untuk menyambut hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriyah. Pimpinan Tarekat Na`sabandiyah NAD Abuya Tgk H Djamaluddin Waly di Banda Aceh, Senin menyatakan, 1 Syawal akan ditentukan setelah para ahli ilmu hisab dan Departemen Agama melakukan rukyah Senin sore. "Apapun keputusan pemerintah kita akan ikuti, karena hal itu sudah menjadi konsensus empat mahzab dan dunia Islam," ujarnya. Soal tarekat Na`sabandiyah yang ada di Padang, Sumatera Barat, Abuya menyatakan, itu tidak ada hubungannya dengan tarekat yang dipimpinnya. Ia menilai keputusan tarekat Na`sabandiyah Padang yang menetapkan 1 Syawal pada hari Senin (29/9) dianggap sesat menyesatkan, karena tidak ada dasar hukumnya. Berdasarkan hukum Fiqih untuk menentukan 1 Ramadahan atau 1 Syawal berdasarkan rukyat dan itu merupakan kesepakatan ulama empat mahzab, dan Pemerintah Indonesia menganut sistem tersebut. "Jadi, kalau tarekat Na`sabandiyah Padang sudah berlebaran pada hari ini, maka itu merupakan pendapat yang sesat menyesatkan, karena tidak ada dasar hukumnya," ujar Abuya yang juga Pimpinan Yayasan Pesantren Asaasunnajah. Ia juga merasa heran kenapa Pemerintah membiarkan masalah tersebut. Seharusnya, instansi terkait melakukan penyelidikan mengapa tarekat tersebut sangat berbeda dalam melaksanakan puasa dan lebaran, katanya. Disebutkan, kalau berbeda satu hari, itu sering terjadi, tapi ini perbedaannya sampai dua hari dengan penetapan pemerintah. Ia akan meneliti ke tarekat Na`sabandiyah di Padang untuk mengetahui apa dasar mereka menetapkan awal Ramadhan dan Syawal. Sementara itu jemaah Annazir dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menetapkan 1 Syawal pada Selasa, 30 September 2008. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I HTI Sulsel, Shabran, mengatakan bahwa metode yang mereka gunakan adalah hisab (perhitungan matematika astronomi) dan rukyah (pandangan mata). Dari hisab yang mereka lakukan, posisi bulan saat ini sudah akan mendekati posisi 0 (nol) derajat pada poros bumi-matahari. Pihaknya memperkirakan, posisi nol derajat akan terjadi pada hari Senin (29/9), pukul 15.00 WIB. Fenomena hilal Syawal pada tahun 2008 ini sama dengan tahun 2007 lalu. "Resminya, Hizbut Tahrir akan umumkan pada hari Senin, pukul 16.00 wita atau pukul sebelas malam waktu Madinah, melalui radio internasional Hizbut Tahrir," ujarnya. Untuk metode rukyah, mereka mempercayakan anggota Hizbut Tahrir di seluruh dunia untuk mengamati. Kemungkinan besar, kata Shabran, yang pertama kali melihat hilal dengan mata telanjang adalah masyarakat di wilayah negara-negara timur tengah. Karena posisi wilayah mereka yang paling memungkinkan melihan bulan pertama kali. Mengenai adanya perbedaan penentuan hilal di Indonesia, Shabran mengatakan, tidak akan menjadi masalah. Pihaknya akan tetap menghormati pendapat kaum muslimin lain, jika berbeda dengan penentuan yang dilakukan Hizbut Tahrir. Sementara pimpinan Yayasan An Nazir, Ustadz Ir. Lukman mengatakan, penetapan 1 Syawal di dasarkan pada fenomena alam. Ia seperti juga dilakukan beberapa tahun sebelumnya, melihat permukaan air laut. Jika sudah surut, maka bisa diambil kesimpulan akhir Ramadhan atau awal Syawal. Dengan cara itu maka ia dapat kepastian masuknya 1 Syawal. Keluarga besar atau seluruh anggota An Nazir -- atau lebih poluper jemaah rambut pirang dari Goa -- dapat berlebaran pada hari Senin. Bagi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, penetapan 1 syawal dilakukan berdasarkan hisab hakiki , yang ditetapkan Majelis Tarjih dan Tajdid. Untuk tahun ini Idul Fitri 1 Syawal 1429 H jatuh pada 1 Oktober 2008. Lantas bagaimana dengan Ormas Islam lainnya? ?Semoga saja sama. Tapi, kalau tak sama, NU akan berimam pada pemerintah," kata Ketua Umum Pengurus Besar NU, KH Hasyim Muzadi, kepada wartawan usai buka puasa bersama di kantor Pengurus Besar (PB NU), Jakarta, Jumat. Idealnya, para ulama dan tokoh ormas Islam dapat menyatukan persepsi dalam penentuan tanggal 1 Syawal 1429 Hijriah, kata Ketua Forum Komunikasi dan Kerjasama Islamic Centre (FKKIC) Sumut, DR.Zainul Fuad, MA di Medan. Kesepakatan itu diperlukan agar tidak menimbulkan kebingungan dan adanya kebersamaan bagi ummat Islam dalam merayakan Idul Fitri. Di sisi lain, dalam 1 Syawal itu ada hukum lain yang menyertai pelaksanaan puasa tersebut. "Bagi ummat Islam haram hukumnya jika masih berpuasa pada 1 Syawal," katanya. Karena itu, setiap ulama memiliki kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang berbeda dalam proses hisab dan rukyat guna menentukan 1 Syawal sebagai Hari Raya atau Lebaran bagi ummat Islam. Hal itu disebabkan berbedanya metodologi dan posisi bulan yang dilihat dalam proses perhitungan guna penetapan awal bulan tersebut. Namun, Direktur Institute For Peace and Human Rights IAIN Sumut itu menekankan bahwa selama perbedaan tak terlalu jauh hasilnya maka ulama dan tokoh ormas Islam sebaiknya "meng-ijma`kan" (menyatukan) pendapat mereka. Kesepakatan itu lebih baik dan bermanfaat untuk meningkatkan kekompakan dan kebersamaan umat dalam merayakan Lebaran. (*)
Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008