Oleh Ulul Maskuriah Banjarmasin (ANTARA News) - Malam makin larut, jarum jam menunjukkan pukul 21.00 Wita, tapi puluhan muda-mudi di Desa Sungai Musang, Kecamatan Aluh Aluh, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), terlihat tetap bersemangat merontokkan padi yang mereka panen siang tadi. Di sebuah pekarangan yang hanya berukuran 4x6 meter, mereka berlari-lari kecil mengitari sebuah tikar purun yang di atasnya terdapat beberapa gundukan padi sudah menguning. Setelah padi itu terpisah dengan batangnya, ada kelompok lain yang bertugas memasukkannya ke dalam karung. Kelompok ini pula wajib menyusun padi itu di dalam lumbung. "Merapai", itu lah sebutan warga desa itu terhadap cara merontokkan padi. Dalam bahasa Banjar, "merapai" artinya memisahkan. Biasanya "merapai" dilakukan setelah shalat Isya, sebab itu para muda-muda sudah berkumpul setelah sehari penuh mereka beraktivitas di sawah. Dari "Merapai" ini ajang mencari jodoh dimulai. Maklum, muda-mudi yang datang untuk memanen padi ke desa itu biasanya dari desa tetangga, selain mencari penghasilan, tujuan lainnya adalah mencari pasangan hidup. Saat "merapai" padi mereka bertemu pandang dengan lawan jenis, kemudian jatuh hati dan terjadilah perjodohan. Tak ada yang tahu sejak kapan tradisi "merapai" itu berubah menjadi ajang mencari jodoh. Sejumlah warga desa itu mengaku, tradisi itu sudah ada sejak orangtua mereka dahulu. Warga hanya tahu, saat padi di sawah menguning mereka harus siap-siap berburu "pengataman" yakni orang yang mau mengambil upah memanen padi. Biasanya "pengataman" itu sekaligus bertugas sebagai perapai padi. Kebanyakan, "pengataman" padi itu berasal dari desa tetangga, seperti Tabunganen, Kurau dan paling jauh dari Desa Sungai Tabuk. Umumnya, mereka adalah muda-mudi yang memang memiliki keahlian memanen padi. "Saya sudah puluhan tahun tinggal di desa ini, kata ibu saya budaya merapai sambil mencari jodoh sudah ada sebelum saya lahir," kata Hami, warga desa itu. Menurutnya, banyak muda-mudi di desa itu yang bertemu jodoh saat "merapai" padi itu, ada yang menikah dengan sesama orang yang mengambil upah untuk memanen padi dan ada pula yang menikah dengan pemilik padi. Biasanya pernikahan dilangsungkan setelah masa panen padi berakhir, karena saat itu mempelai memiliki modal menikah yang didapat dari upah memanen. Pernikahan diawali lamaran dari mempelai keluarga pria ke mempelai wanita. Warga yang sudah menikah akan mencari pekerjaan lain, profesi sebagai buruh panen sekaligus perapai padi akan diserahkan kepada rekan-rekan mereka yang belum mendapatkan jodoh. Fitri (17), adalah satu remaja di desa itu yang berhasil bertemu pemuda pujaan hatinya dari "merapai" padi itu. Setelah lebaran ini percintaan mereka akan diteruskan ke jenjang pernikahan. "Selain saya, beberapa remaja juga mendapatkan pasangan hidup, mereka juga berjanji akan menikah setelah lebaran ini," ujarnya.Sungai Musang hanyalah sebuah desa kecil, penduduknya tak sampai dua ratus jiwa. Selain bertani, sebagian warganya berprofesi sebagai nelayan. Belum ada akses jalan yang menghubungkan desa ini dengan desa tetangga. satu-satunya alat transportasi utama warga setempat hanyalah kelotok (perahu kecil bermesin). Keletok itu pula yang menjadi andalan warga setempat membeli kebutuhan rumah tangga ke Aluh Aluh, ibu kota kecamatan yang jaraknya tak sampai 10 km. Mungkin karena dianggap terlalu kecil, pada peta desa yang terletak di muara Sungai Barito ini juga tak tertera. Namun saat musim panen tiba antara Juli hingga Agustus, desa yang semula sunyi senyap ini mendadak menjadi ramai, karena adanya warga pendatang yang akan melakukan panen. Pada musim panen ini, masing-masing warga pemilik sawah yang siap panen, akan menampung "pengataman" antara 10 sampai 45 orang, sesuai dengan luas lahan yang akan di panen. Jika masing-masing rumah menampung minimal 10 orang, artinya, di Desa Sungai Musang terjadi penambahan penduduk selama panen hingga 10 kali lipat. "Pokoknya kalau musim panen, desa Sungai Musang berubah menjadi kota, karena siang dan malam selalu ramai," kata Megawati, warga Sungai Musang yang juga menampung sekitar 10 orang "pengataman". Malam yang biasanya senyap, berubah menjadi ramai oleh nyanyian dan canda gurau para remaja yang sedang merontokkan padi sambil mencari jodoh. Saat malam hampir semua pekarangan rumah terdapat aktivitas merontokkan padi dan baru berakhir menjelang tengah malam, setelah para muda-mudi itu merasa letih dan harus istrihat, karena paginya tugas memanen padi yang menguning sudah menunggu.Ramainya pendatang yang masuk ke Desa Sungai Musang pada saat panen tiba, menjadi spirit baru bagi warga desa tersebut untuk bercocok tanam, kendati hasilnya tidaklah bisa untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Megawati, salah seorang warga Sungai Musang, yang memiliki lahan pertanian seluas dua hektar, mengungkapkan, bila dihitung-hitung hasil dari bercocok tanam tidak sesuai dengan tenaga yang mereka keluarkan, bahkan cenderung merugi. Bagaimana tidak, untuk dua hektar sawah, hanya mampu menghasilkan sekitar Rp6,9 juta. Dari hasil tersebut akan dipotong untuk biaya membeli benih, upah tanam dan pengataman sekitar Rp6 juta. Pengeluaran terbesar terjadi pada saat musim pengataman, karena pemilik sawah harus menampung minimal 10 orang baik laki-laki maupun perempuan untuk memanen selama minimal 10 hari. Selama 10 hari tersebut, tuan rumah harus menyiapkan makan tiga kali sehari. Belum lagi minum teh dan kue yang juga harus disiapkan sebagai makanan tambahan bagi para pemanen padi. "Sebenarnya, kalau dihitung-hitung hasil yang kita dapat minim sekali, tetapi kami tetap senang karena musim panen itu, membawa berkah perjodohan bagi muda-mudi di sini," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008