Jakarta (ANTARA News) - Pengamat masalah hubungan internasional Universitas Indonesia, Hariyadi Wiryawan menilai, ketegangan antara Barat dan Rusia beberapa waktu terakhir pasca-konflik Ossetia Selatan tidak akan berkembang menjadi Perang Dingin baru antara Barat dan Timur. "Agak berbeda sekalipun ketegangan itu ada, karena untuk kali ini, Uni Eropa tidak bersikap seragam," kata Hariyadi di Jakarta, Minggu, saat dimintai pendapat mengenai ketegangan Amerika Serikat dan Rusia. Menurut Hariyadi, jika sesudah Perang Dunia II, Amerika Serikat didukung penuh sekutunya, maka saat ini pandangan negara Uni Eropa sangat beragam. "Misalnya, (Nicolas) Sarcozy -- Presiden Prancis -- atau Kanselir Jerman Angela Merkel tampak berjalan dengan pemikirannya sendiri dan kedua pemimpin itu tampak lebih dipercaya daripada Bush (George W Bush, presiden Amerika Serikat)," katanya. Inggris, tambah dia, juga tidak lagi sama seperti saat dipimpin Perdana Menteri Tony Blair. Jadi, tambahnya, "Secara umum, dukungan terhadap Amerika Serikat tidak lagi sebesar dahulu," katanya. Ia menilai itu terjadi karena Uni Eropa kini melihat Amerika Serikat memiliki agenda khusus. Namun, kata Hariyadi, ketegangan tersebut tetap meresahkan dunia pada umumnya, sehingga Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon secara khusus perlu menyerukan seluruh pemimpin dunia agar memperingati Hari Perdamaian Dunia guna mengingat pentingnya arti perdamaian. Ban pada Hari Perdamaian Dunia, yang diperingati 21 September 2008, mengirimkan pesan kepada seluruh pemimpin dunia agar mereka bergabung melawan sengketa, kelaparan dan memperjuangkan hak asasi manusia. Pada Agustus 2008, Rusia mengirimkan pasukannya ke dua wilayah perlawanan di Georgia, yakni Ossetia Selatan dan Abkhazia, untuk mengusir pasukan Georgia, yang malam sebelumnya melancarkan serangan ke kedua wilayah itu. Kemelut tersebut, yang disebut-sebut berlatar belakang peta minyak di kawasan Kaukasus, berujung pada pengakuan Rusia pada kemerdekaan sepihak Ossetia Selatan dan Abkhazia, yang dikecam sejumlah negara Barat, yang mendukung Georgia. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus menyatakan prihatin pada penguatan ketegangan baru antara Barat dan Rusia, yang disebutnya dapat mengalihkan perhatian dunia dari masalah penting dalam tulisannya di harian "International Herald Tribune" terbitan 16 September 2008, yang berjudul "A Chill the World Cannot Afford". (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008