Jakarta (ANTARA) - Demokrasi Indonesia mencatatkan sejarah pada 2005, saat pertama kali melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung.
Pesta demokrasi yang rakyat diberikan kesempatan untuk menentukan calon pemimpinnya di daerah sesuai keinginannya.
Pilkada langsung pertama dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur pada Juni 2005, setelah terbitnya UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), yang mengatur Pilkada secara langsung dan calon diusulkan parpol atau gabungan dari parpol.
Baca juga: Pengamat: Wacana evaluasi pilkada perlu pengkajian menyeluruh
Dalam perkembangannya, Pilkada tidak hanya dilakukan secara langsung namun juga serentak, dengan dibuat aturannya melalui UU nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Dalam aturan tersebut, Pilkada langsung dan serentak dibuat dalam tujuh gelombang yaitu dilaksanakan pada Desember 2015, Februari 2017, Juni 2018, tahun 2020, 2022, 2023, dan Pilkada serentak pada 2027.
Setelah melaksanakan Pilkada langsung sejak 2005 dan Pilkada serentak 2015 serta 2017, pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mewacanakan evaluasi Pilkada langsung.
Dari wacana tersebut bahkan sempat berkembang isu bahwa pemerintah menginginkan Pilkada melalui DPRD, namun hal tersebut dibantah Tito.
Dia mengatakan wacana evaluasi Pilkada langsung tersebut bukan berarti pemerintah menginginkan Pilkada dikembalikan kepada DPRD.
Baca juga: MPR sebut 826 pasutri bercerai akibat pilkada langsung
Mantan Kapolri tersebut menjelaskan sistem Pilkada langsung memiliki semangat yang sangat mulia yaitu menggambarkan demokratisasi, iklim partisipasi rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung, dan mendapatkan pemimpin dari jalur independen.
Namun menurut catatannya, Pilkada langsung memiliki dampak yang tidak baik dalam sistem sosial masyarakat Indonesia yaitu potensi konflik yang tinggi yang terjadi di beberapa daerah seperti Papua dan Aceh.
Selain itu menurut dia, biaya politik yang dikeluarkan dari Pilkada langsung pun tidak sedikit, baik dari sisi anggaran yang dikeluarkan negara maupun dari calon kepala daerah misalnya untuk biaya saksi dan kampanye.
Karena itu dia menginginkan adanya sistem Pilkada yang berbiaya rendah dan minim konflik di masyarakat, sehingga salah satu sistem Pilkada yang diusulkannya adalah Pilkada asimetris.
Pilkada asimetris yang dimaksudkan Tito adalah sistem Pilkada yang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pemilihan kepala daerah antardaerah misalnya karakteristik tertentu daerah tersebut sperti kekhususan aspek administrasi, budaya, dan faktor strategis wilayah.
Prinsip Pilkada asimetris tersebut sebenarnya sudah dilaksanaan di DKI Jakarta, yaitu seorang walikota di Jakarta tidak dipilih melalui Pilkada. Hal itu karena status kotamadya di Jakarta bukan daerah otonom namun sebagai daerah pembantu sehingga ditentukan Gubernur dan DPRD.
Lalu di D.I Yogyakarta, sistem Pilkada diatur melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang menyebutkan posisi gubernur dan wakil gubernur telah diatur secara tegas harus dipegang oleh seorang Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam.
Baca juga: Revisi UU Pilkada, Denny Indrayana: Antisipasi politik uang
Sementara untuk walikota dan bupati di Yogyakarta, dipilih melalui Pilkada langsung.
Pro-Kontra Pilkada langsung
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan saat ini Komisi II DPR terbuka menerima masukan terkait wacana evaluasi sistem Pilkada dan ada beberapa usulan yang sudah masuk, yaitu Pilkada asimetris, tetap Pilkada langsung namun dengan koreksi terhadap berbagai ekses negatif, dan Pilkada melalui DPRD.
Dalam Pilkada asimetris, basisnya harus tepat karena terkait otonomi daerah. Misalnya yang diusulkan Kemendagri adalah daerah yang dekat perbatasan dengan tidak, itu artinya pendekatan geografis.
Selain itu menurut dia ada juga yang berbasis tingkat kesejahteraan rakyat dan tingkat rasionalitas rakyat misalnya kalau di sebuah daerah yang pilkada-nya sarat politik uang dan diindikasikan daerah tersebut tingkat kesejahteraannya rendah lalu Pilkada melalui DPRD.
Karena itu dia meminta untuk menempatkan konteks asimetris tersebut secara tepat karena tidak bisa dipungkiri, Pilkada langsung yang sudah berjalan selama ini telah menghasilkan pemimpin yang dikehendaki masyarakat.
Namun di sisi lain, dia menilai ada beberapa poin yang harus dievaluasi dalam Pilkada langsung agar tidak menimbulkan biaya politik tinggi dan minim konflik sosial di masyarakat.
Pasca-orde baru, otonomi daerah yang diusung di era reformasi, bandulnya ada di kabupaten/kota sehingga ketika dikaitkan dengan keterlibatan masyarakat dan kedaulatan rakyat maka di wilayah tersebut merupakan tempat pengambilan keputusan publik secara demokratis.
Sekretaris Fraksi PPP DPR RI Achmad Baidowi mengatakan konflik horizontal karena perbedaan pilihan di Pilkada, menjadi penyebab harus dilakukannya evaluasi Pilkada langsung.
Baca juga: Mampukah parpol menghadang eks koruptor jadi kontestan Pilkada 2020?
Menurut dia, kalau Pilkada langsung dinilai ongkos politiknya mahal maka harus dikurangi pos pengeluaran misalnya kampanye yang biasanya enam bulan, dipangkas menjadi tiga bulan. Kedua, biaya saksi harus ditanggung negara sehingga peserta Pilkada tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya saksi.
Ketiga, perketat ketentuan pidana bagi praktik mahar politik bahkan kalau ketahuan, parpol pengusung harus dibubarkan karena biaya mahar politik selama ini sangat besar.
Biaya politik tinggi yang dikeluarkan calon kepala daerah, membuat yang bersangkutan mencari cara untuk mengembalikan modal politiknya ketika memimpin daerah.
Untuk itu, Baidowi mengusulkan agar Pilkada kembali dipilih DPRD, karena akan lebih mudah mengawasi 45 orang anggota DPRD daripada 600 ribu orang. 45 orang anggota DPRD dapat diawasi selama proses pendaftaran sampai pemilihan kepala daerah.
Pilkada dipilih DPRD bukan sebuah bentuk kemunduran demokrasi karena tujuan demokrasi adalah kesejahteraan rakyat. Karena itu demokrasi hanya tata cara berpolitik untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat namun kalau hanya menghambur-hamburkan uang negara maka sebaiknya dievaluasi, katanya.
Baca juga: DPR RI gelar Forum Legislasi bahas Pilkada Langsung, apa masalahnya?
Permasalah Pilkada langsung juga menuai masalah dalam hal pembiayaannya karena tiap daerah tidak memiliki kemampuan yang sama dalam membiaya Pilkada karena menyangkut kekuatan keuangannya masing-masing.
Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo, Suwondo Yudhistiro mengatakan biaya penyelenggaraan Pilkada langsung dari tahun ke tahun itu di daerahnya selalu mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Pada 2010, anggaran Pilkada Wonosobo cukup Rp8 miliar, pada 2014 sekitar Rp24 miliar, dengan estimasi untuk KPU Rp19,4 miliar kemudian sisanya untuk Bawaslu Rp5 miliar,
Sementara untuk Pilkada langsung 2020, diperkirakan menghabiskan anggaran sekitar Rp57 miliar dengan rincian KPU membutuhkan anggaran sekitar Rp40,7 miliar, Bawaslu Rp12,6 miliar, pengamanan Kepolisian dan TNI beserta dengan Kesbangpol sekitar Rp1,8 miliar, kemudian linmas dan satpol PP Rp1,7 miliar.
Selain itu untuk desk pilkada kemudian fasilitasi penyelenggaraan Pilkada di tingkat kecamatan (15 kecamatan) diperkirakan sekitar Rp400 juta.
Suwondo mengatakan selain terbebani dengan biaya Pilkada, daerahnya juga terbebani dengan konsekuensi diterbitkannya PP No. 11/2019 berkaitan dengan penambahan penghasilan tetap terhadap kepala desa, perangkat desa dan sekdes.
Menurut dia ada kekurangan Alokasi Dana Desa (ADD) di Kabupaten Wonosobo ketika harus menyesuaikan terhadap PP itu kurang lebih sekitar Rp25 miliar.
Selain itu, dikeluarkannya Perpres N0.75/2019 terkait iuran BPJS menambah beban daerah. Dalam perhitungannya ada 52 ribu peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang harus ditanggung oleh Pemda dengan kebutuhan dana Rp26 miliar. Saat ini baru dianggarkan sebesar Rp15 miliar.
Kemudian ditambah lagi sertifikasi guru yang juga BPJS-nya harus ditanggung oleh Pemda kurang lebih sekitar Rp6 miliar.
Sementara, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Zulfikar Arse Sadikin menilai saat ini merupakan saat yang tepat untuk memantapkan konsolidasi demokrasi sehingga kalau sistem Pilkada langsung dievaluasi bahkan diganti maka itu sama saja meragukan demokrasi.
Menurut dia, Pilkada langsung dapat memastikan rakyat berdaulat untuk dirinya dan juga memastikan berjalannya sistem presidensial.
Dia menilai kalau ada kekurangan dalam Pilkada langsung maka lebih baik diperbaiki bukan dengan langkah mengganti sistemnya. Karena sistem Pilkada langsung, pasangan kepala daerah dituntut bertanggung jawab kepada rakyat dan masyarakat menentukan masa depannya melalui pemimpin yang dipilihnya.
Zulfikar bahkan menilai wacana Pilkada tidak langsung merupakan kehedak elit bukan aspirasi masyarakat.
Baca juga: Polemik sistem pilkada, AHY tidak ingin demokrasi mundur
Penolakan Pilkada tidak langsung juga disuarakan Komisioner KPU 2012-2017 Hadar Nafis Gumay karena permasalahan yang terjadi dalam Pilkada bukan pada sistemnya namun mekanisme dalam prosesnya yang diakuinya masih terjadi politik uang.
Pilkada langsung memang bukan tanpa masalah, namun di dalamnya terdapat ruang ketika masyarakat bisa memilih dengan pertimbangan-pertimbangan realistis bukan dipengaruhi keterpaksaan.
Menurut dia, salah satu persoalan di Pilkada langsung adalah politik uang. Untuk itu, pembenahan perlu dilakukan melalui perubahan UU Pilkada. Seperti memastikan akuntabilitas laporan keuangan.
Menurut dia, evaluasi pelaksanaan Pilkada langsung dilaksanakan secara mendalam dan komprehensif, namun harus sesuai data dan bukan menyederhanakan persoalan untuk mengubah sistemnya.
Dalam UUD 1945, perihal Pilkada dijelaskan dalam Pasal 18 ayat 4 yang menyebutkan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Makna demokratis tersebut kemudian diartikan bahwa Pilkada dilaksanakan secara langsung.
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019