Kebakaran tidak sekedar mematikan api kemudian mencari tersangka dan menghukumnya

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian mengusulkan agar penyelesaian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bisa diprioritaskan pada deteksi dini (early warning) dan pencegahan.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdalifah mengatakan, kalau melihat polanya, umumnya kebakaran hutan dan lahan atau karhutla terjadi dalam 3-4 bulan dalam setahun.

Seharusnya delapan bulan tersisa dapat dimanfaatkan untuk membangun kluster pengendalian karhutla dengan melibatkan masyarakat.

Baca juga: WALHI ke Malaysia dorong regulasi karhutla antar-negara

"Kebakaran tidak sekedar mematikan api kemudian mencari tersangka dan menghukumnya. Perlu dipertimbangkan, suatu kawasan terkelola dengan baik agar kebakaran tidak perlu terjadi berulang," katanya.

Menurut Musdalifah, karhutla di Indonesia tidak terkait dengan pembukaan lahan sawit. Selain faktor manusia, bencana alam seperti el Nino serta peran dari tanggung jawab pengelola kawasan menjadi penting dalam penanganan karhutla.

Selama ini, lanjutnya, hanya karena sentimen kelompok tertentu, semua kesalahan ditimpakan pada industri sawit. Pihak-pihak ini perlu memahami bahwa Indonesia perlu membangun aktivitas industrinya melalui sawit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Sebagai pemerintah saya punya kepentingan untuk menjaga pertumbuhan sawit nasional," kata Musdalifah dalam The 2nd International Conference on Natural Resources Environmental Conservation bertema Industrial Forest and Oil Palm Plantation Fire, Impacts and valuation of the Environmental Losses.

Senada dengan itu Director of Tropical Peat Research Laboratory Unit (TPRL) Malaysia Lulie Melling mengatakan, isu mengenai karhutla dikaitkan dengan keberadaan perkebunan sawit menjadi isu yang menarik di forum global.

Sayangnya, selama ini pemahaman mengenai gambut tropis didominasi pemahaman barat, sehingga mengakibatnya kesenjangan pemahaman yang berakibat penyelesaian restorasi gambut serta penanganan karhutla di gambut tidak efektif.

Menurut dia perlu dibangun pemahaman baru dari para pemangku kepentingan di Indonesia dengan melibatkan peran petani pekebun sawit dengan kearifan lokalnya.

"Cara pencegahan dengan membangun pemahaman bersama di Indonesia lebih efektif dan tidak membutuhkan banyak biaya dibandingkan penanggulangan karhutla di gambut," katanya.

Kajian ilmiah
Wakil Rektor IPB Agus Purwito mengingatkan perlunya kajian berbasis data ilmiah untuk menyelesaikan kasus kebakaran hutan di Indonesia.

“Kajian ilmiah diperlukan agar berbagai persoalan yang jadi penyebab kebakaran bisa diselesaikan. Pasalnya, karhutla di Indonesia tidak hanya merugikan dari sisi investasi, tetapi banyak hal seperti kesehatan manusia dan hubungan antara negara," katanya.

Direktur Penegakan Hukum Pidana Ditjen Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Yazid Nurhuda menambahkan perlunya pembuktian ilmiah sebagai dasar dan bukti hukum dalam konteks beracara di pengadilan agar menjadi solusi dalam penyelesaian karhutla di Indonesia.

Oleh karena itu, lanjutnya, peran dari para saksi ahli yakni para akademisi menjadi sangat penting dalam penyelesaian perkara kebakaran hutan dan lahan.

"Berdasarkan sampel hasil uji laboratorium, saksi ahli akan menetapkan scientific evidence menjadi legal evidence melalui surat keterangan saksi ahli. Hal ini akan menjamin kepastian hukum," ujar dia.

Baca juga: BPBD Sumsel: Karhutla paling luas ada di Ogan Komering Ilir
Baca juga: Kalbar dijadikan percontohan penanggulangan karhutla di Indonesia

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019