Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto memaparkan strategi menghadapi gerakan kemerdekaan Papua yang multifaksi.
"Gerakan Papua merdeka bukanlah sebuah organisasi bersenjata yang terstruktur dan memiliki hierarki jabatan," kata Soleman Ponto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Oleh karena itu, untuk menghadapi kelompok tersebut pemerintah disarankan mengerahkan aparat penegak hukum, yaitu Polri.
"Bukan TNI yang diturunkan untuk mengatasi gangguan keamanan di Papua itu. Karena mereka hanya kriminal," kata Soleman dalam sebuah diskusi bertema "Konflik Internal Kelompok Separatis Papua: Mengkaji Aktor-aktor Pengganggu Keamanan di Papua dan Model Pengamanan yang Ideal" di Universitas Satya Negara Indonesia (USNI), Jakarta, Jumat (29/11).
Berangkat dari banyaknya faksi dalam gerakan kemerdekaan Papua yang cenderung kriminal itu, dia menegaskan bahwa konsekuensi penambahan jumlah polisi yang bertugas di Papua.
Selain itu, Soleman juga menyarankan agar pemerintah mau berdialog dengan dan mendengar permintaan faksi-faksi tersebut, serta memberi penjelasan bagi yang mau berdialog.
Pakar keamanan dari Universitas Parahyangan I Nyoman Sudira mengatakan bahwa pendekatan keamanan di Papua harus diubah menjadi human security, bukan militeristik.
Baca juga: Masyarakat Tulungagung galang gerakan NKRI cinta Papua
Baca juga: Tolak Intervensi Asing untuk Papua
Ia menilai pendekatan militeristik semata hanya akan menjadikan negara sebagai musuh bersama.
"Ancaman di Papua itu adalah sempitnya ruang gerak pemerintah untuk melindungi orang Papua," kata doktor lulusan Helsinki itu.
Bukan Gerakan Tunggal
Sementara itu, Ketua Program Studi Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia Pradono Budi Saputro melihat gerakan kemerdekaan Papua tidak bisa sebagai sebuah gerakan tunggal.
"Ada kelompok yang berkampanye di luar negeri dengan pendekatan diplomasi, ada pula yang bergerak di dalam negeri dengan pendekatan senjata dan kekerasan," kata Pradono.
Ia berpendapat bahwa ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) pimpinan Benny Wenda itu aktif di dunia internasional, sedangkan di dalam negeri ada OPM yang mengedepankan kekerasan.
Banyaknya faksi dan beragamnya cara yang mereka lakukan untuk memerdekakan wilayah Papua, lanjut dia, sebenarnya bukan baru kali ini terungkap.
Baca juga: Penerjun sinterklas dan strategi taktis amankan Papua
Baca juga: Polri imbau 1 Desember warga Papua tetap fokus ibadah Minggu
Pada tahun 2015, Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement sudah menyatakan bahwa di internal Organisasi Papua Merdeka (OPM) sendiri sudah pecah sejak awal terbentuknya pada tahun 1971.
Dua orang pendiri OPM, Jacob Prai dan Seth Roemkorem, terpecah menjadi OPM Mavic (Markas Victoria) dan OPM Pemka (Pemulihan Keadilan).
Friksi internal dalam kelompok prokemerdekaan Papua itu pun sepertinya terus berlanjut sampai saat ini. Misalnya, pada Juli lalu, Sebby Sambom selaku juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) membantah pernyataan Benny Wenda dari ULMWP mengenai bersatunya tiga kelompok bersenjata di Papua Barat di bawah ULMWP.
Dengan adanya friksi demikian, kata dia, bukan tidak mungkin justru jatuh korban dari masyarakat sipil Papua itu sendiri.
"Di Wamena ada indikasi kelompok separatis lepas tangan (tidak mengaku) sebagai dalang. Mereka hanya berusaha melindungi diri dari tuduhan rasisme mengingat korbannya tidak hanya pendatang, tetapi juga etnis Papua," kata Pradono.
Baca juga: LSM ajak masyarakat tolak perayaan HUT OPM
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019