"Keputusan pemerintah tentang SKB itu justru melahirkan kesewenang-wenangan, serta memperlihatkan negara kian menjauh dari prinsip negara hukum," kata Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) Dr Herlambang P Wiratraman dalam siaran pers
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Sejumlah pusat studi dan akademisi dari berbagai daerah di Indonesia mengkritik terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 menteri tentang penanganan radikalisme dalam rangka penguatan wawasan kebangsaan pada aparatur sipil negara (ASN) yang dinilai berlebihan (excessive) dan tidak memiliki dasar hukum yang tegas dalam memaknai radikalisme.
"Keputusan pemerintah tentang SKB itu justru melahirkan kesewenang-wenangan, serta memperlihatkan negara kian menjauh dari prinsip negara hukum," kata Sekretariat Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) Dr Herlambang P Wiratraman dalam siaran persnya yang diterima Jember, Jawa Timur, Kamis.
Baca juga: Pemerintah akan bentuk satgas tangkal radikalisme di kalangan ASN
Menurutnya, secara formal dan prosedural akan mengundang ketidakjelasan otoritas yang akan bekerja untuk menguji secara objektif dan yang paling mendasar bertentangan dengan prinsip lex certa, hukum yang berkepastian.
"Dari sudut ketatanegaraan, pembatasan hak dan kebebasan seharusnya bukan ditempatkan dengan bentuk hukum SKB, melainkan dengan undang-undang dan apabila pemerintahan merasakan ada urgensinya, maka seharusnya presidenlah yang harus berani menerbitkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang)," ujarnya pula.
Ia menjelaskan SKB tersebut berpotensi mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan bagi ASN yang bekerja di kampus juga berpotensi bertentangan dengan kebebasan akademik, sebagaimana diatur dalam Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik.
"Pembatasan memang bisa dilakukan pemerintah, tetapi harus jelas standar dan acuannya, terutama dengan bersandar standar hukum hak asasi manusia internasional, misalnya pembatasan yang merujuk pada prinsip-prinsip Siracusa," ujar akademisi Fakultas Hukum Unair Surabaya itu.
Herlambang menilai SKB tentang penanganan radikalisme itu juga mengundang kesewenang-wenangan yang justru memperumit proses hukum yang ada, karena sejauh ini belum pernah dievaluasi perangkat etika yang ada di kampus atau lembaga pemerintah, bagaimana mengidentifikasi, menguji, sekaligus mempertanggungjawabkannya, sehingga perlu aturan SKB tersebut.
"Bila tidak (pernah) ada basis evaluasi yang bisa dipertanggungjawabkan, khawatirnya dalam praktik, justru terjadi kesewenang-wenangan antar-hirarki di internal jajaran pemerintahan yang justru bertolak belakang dengan semangat membangun integritas dan profesional ASN," katanya.
Baca juga: Wapres Ma'ruf Amin pimpin koordinasi penanggulangan terorisme
Ia mengatakan keutuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk menjaga keberagaman dan kebhinekaan yang ada dalam sistem sosial Indonesia tetap perlu dijaga tanpa harus mengorbankan hak-hak asasi masyarakat secara luas.
"Kami mendorong pemerintah beserta jajaran aparat penegak hukum tetap berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta menggunakan kerangka hukum yang ada untuk menangkal potensi ekstremisme, terorisme, atau tindakan kriminal lainnya," ujarnya.
Surat pernyataan sikap bersama tersebut didukung oleh Center of Human Rights Law Studies (HRLS)/Pusat Studi Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Pusat Studi Anti-Korupsi & Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya, Pusat Latihan dan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya (PPISB) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Sekretariat Kaukus Akademisi untuk Kebebasan Akademik (KKAI) Surabaya.
Kemudian Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Sentra Studi Hak Asasi Manusia (SESHAM) Purwokerto, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed) Medan, Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas Padang, Pusat Pengembangan HAM dan Demokrasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (PPHD).
Baca juga: Wapres pimpin rapat internal penanganan terorisme
Sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengungkapkan tujuan penerbitan SKB 11 Menteri terkait penanganan radikalisme pada ASN dan PP Nomor 77 Tahun 2019 tentang pencegahan tindak pidana terorisme dan perlindungan terhadap penyidik, penuntut umum, hakim, dan petugas pemasyarakatan.
"SKB itu lebih ke sebuah panduan bahwa pendekatan untuk deradikalisasi secara komprehensif bisa melalui pendidikan, perbaikan infrastruktur sosialnya, infrastruktur pendidikan, perbaikan dan lain-lain, sehingga tidak hanya pendekatan keamanan saja," kata Moeldoko, di Kantor KSP di Jakarta.
Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019