Jakarta (ANTARA) - KPK menyertakan dua tambahan bukti prinsip dalam memori kasasi perkara mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir.
"Siang ini, KPK telah menyerahkan memori kasasi sebagai bagian dari proses upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Tipikor dengan terdakwa Sofyan Basir disertai dua tambahan bukti prinsip yaitu: 12 keping CD rekam sidang di pengadilan dan BAP Sofyan Basir," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.
Baca juga: KPK serahkan memori kasasi terkait Sofyan Basir ke MA Kamis
Baca juga: KPK serahkan bukti tambahan dalam memori kasasi Sofyan Basir
Baca juga: KPK beberkan fakta hukum dalam memori kasasi Sofyan Basir
Pada 4 November 2019, hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis bebas terhadap Sofyan Basir karena dinilai tidak terbukti melakukan pembantuan terkait tindak pidana penerimaan suap dalam kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) IPP PLTU MT RIAU-1.
Majelis hakim menilai Sofyan tidak melakukan pembantuan kejahatan untuk mantan anggota Komisi VII DPR dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan mantan sekretaris jenderal Partai Golkar Idrus Marham sehingga keduanya menerima suap Rp4,75 miliar dari pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
"BAP Sofyan tersebut adalah ketika Sofyan memberikan keterangan dalam penyidikan dengan tersangka Eny M. Saragih pada 20 Juli 2018," tambah Febri.
Febri mengatakan KPK memutuskan mengajukan kasasi karena berpandangan putusan tersebut bukanlah putusan bebas murni.
"Kami melihat, majelis hakim mengakui dalam pertimbangannya bahwa terdakwa Sofyan Basir telah terbukti melakukan perbuatan memberikan kesempatan, sarana dan keterangan untuk mempercepat proses kesepakatan PLTU MT Riau-1 namun Sofyan Basir tidak mengetahui akan adanya penerimaan suap oleh Eni Maulani dari Johanes Kotjo sehingga Sofyan tidak terbukti melakukan tindak pidana pembantuan," ungkap Febri.
Bila pertimbangannya demikian, menurut Febri, semestinya majelis hakim menjatuhkan putusan lepas (ontslag).
"Dari hasil analisis, KPK juga menemukan sejumlah bukti dan fakta yang belum dipertimbangkan majelis hakim tingkat pertama di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat," tambah Febri.
Dalam memori kasasi tersebut, beberapa fakta yang menguatkan pendapat jaksa penuntut umum yaitu:
Pertama, keterangan Eni yang mengatakan pernah menyampaikan pada Sofyan bahwa ia ditugaskan oleh Setya Novanto (Setnov) untuk mengawal proyek Johanes Kotjo untuk mendapatkan proyek pembangunan PLTU Riau 1 untuk kepentingan pengumpulan dana untuk partai.
Kedua, Eni juga meminta Sofyan bertemu Setnov dan pertemuan akhirnya dilakukan setelah itu dan ada pembicaraan agar proyek PLTU 35.000 Watt di Jawa dikerjakan oleh Johanes Kotjo.
Ketiga, Eni juga menyampaikan "Sofyan Basir berpesan agar anak-anaknya di PLN diperhatikan juga oleh Pak Kotjo".
Keempat, terdapat kesesuaian bukti keterangan tersebut dengan "whatsapp" antara Eni dan Johanes Kotjo termasuk bagian percakapan "SB: anak2 saya di perhatikan jg ya biar mereka happy".
Kelima, BAP Sofyan pada 20 Juli 2018 saat diperiksa sebagai saksi untuk Eni menjelaskan “Bahwa terkait dengan proyek pembangunan PLTU Riau 1, Eni Saragih selaku anggota DPR RI sekaligus wakil Ketua Komisi VII adalah sebagai penghubung antara Johanes Kotjo dengan saya sebagai Dirut PLN dan menurut penyampaian dari Eni bahwa yang bersangkutan sekaligus urusan bisnis. Sedangkan siapa yang menyuruh Eni saya tidak tahu pasti, akan tetapi dari pembicaraan saya dengan Eni bahwa itu untuk kepentingan partai yaitu untuk mencari dana tetapi saya tidak tahu pasti mengenai apakah Eni mendapatkan dana dari proyek pembangunan PLTU Riau 1".
Keenam, BAP ini menurut KPK masuk dalam kategori alat bukti surat karena meski Sofyan menarik keterangannya yang disampaikan saat menjadi saksi pada 20 Juli 2018 namun Sofyan tidak dapat menyampaikan alasan penarikan keterangan yang logis dan pantas. Bahkan ia mengakui memberikan keterangan tersebut tanpa adanya arahan, paksaan maupun tekanan dari pihak penyidik KPK
Selain itu, KPK juga menguraikan bahwa dalam membuktikan Pembantuan sesuai Pasal 56 ke-2 Sofyan tidak harus ikut menerima "fee". Justru jika terdakwa menerima "fee" maka ia dapat diproses karena melakukan penyertaan, bukan sekedar pembantuan saja.
"Sehingga, KPK meyakini seharusnya perbuatan pembantuan melakukan suap tersebut terpenuhi dan penuntut umum memohon agar Majelis Hakim Agung berkenan menerima permohonan kasasi dan memori kasasi yang diajukan KPK, kemudian menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi, serta menjatuhkan pidana sesuai tuntutan yang sudah disampaikan sebelumnya," tegas Febri.
JPU KPK meminta agar Sofyan divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019