Jakarta (ANTARA) -- Inovasi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, kualitas sumber daya manusia akan meningkat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Inovasi juga dapat menciptakan efisiensi dalam perekonomian, sehingga produk-produk yang dihasilkan semakin kompetitif. Hal itu disampaikan oleh Head of Scholarship & Leadership Development Tanoto Foundation Aryanti Savitri dalam acara Media Briefing Tanoto Student Research Award 2019 di Jakarta, Rabu.
"Tanoto Foundation sebagai organisasi filantropi yang fokus pada pendidikan, mendorong generasi muda untuk bisa berinovasi dan mengembangkan aplikasi pengetahuan yang mereka dapat di perguruan tinggi untuk menjadi produk yang bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat," ujar Aryanti.
Tanoto Student Research Award (TSRA) merupakan inisiatif Tanoto Foundation dalam mendukunggenerasi muda untuk berinovasi melalui penelitian terapan di kampusnya masing-masing. TSRA telah berjalan sejak 2007 yang bermitra dengan empat perguruan tinggi, yaitu Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Hasanuddin.
Hingga saat ini, lanjtu Aryanti, Tanoto Foundation telah mendukung 494 penelitian terapan dari keempat perguruan tinggi mitra tersebut.
"Melalui Tanoto Student Research Award ini, kami juga ingin meningkatkan jumlah peneliti di Indonesia, terutama para peneliti muda yang tumbuh dari perguruan tinggi,” tuturnya.
Menurut data dari UNESCO pada 2016, jumlah peneliti di Indonesia berada di peringkat terbawah di antara negara-negara anggota G-20. Rasio jumlah periset di Indonesia yaitu 89 peneliti untuk per 1 juta penduduk. Dibandingkan dengan Singapura, yang memiliki 6.658 peneliti per 1 juta penduduk, Indonesia masih jauh tertinggal.
Dalam TSRA 2019, Tanoto Foundation mendukung 54 riset dalam bidang teknologi, kesehatan, pertanian dan lingkungan. Tim dari Institut Pertanian Bogor misalnya, mereka menciptakan MICCO BRO (Ergonomic Collectorfor’Brondolan’), yaitu alat pengumpul brondolan buah kelapa sawit ergonomis.
Menurut Tegar Nur Hidayat, juru bicara tim tersebut, alat ini bisa meningkatkan kualitas dan kuantitas kerja. "“Ide kami berawal dari fakta bahwa pengutipan brondolan sawit secara manual tidak efektif dan efisien, bahkan cara tersebut menimbulkan kelelahan pekerja yang tinggi," ungkap Tegar.
Sementara itu, tim dari Institut Teknologi Bandung mengembangkan ABEVES, sarang lebah madu modern yang terintegrasi dengan Internet of Things (IoT). Dengan alat ini, peternak dapat memantau kondisi lebah, seperti berat madu terisi, temperatur, dan kelembapan kandang secara realtime. Alat ini juga mampu memanen madu secara otomatis melalui aplikasi ponsel pintar, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas budidaya lebah madu.
Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019