Oleh A.A. AriwibowoJakarta (ANTARA News) - Kejutan! Manajer Arsenal Arsene Wenger sedang mencerna butir kebijakan dan menyalakan pendar makna dari kisah Jupiter dan Monyet. Master ekonomi lulusan Universitas Strasbourg, Prancis, itu justru mengail tangkapan big fish dari salah satu kisah dalam Fabel Aesop, bukan justru menghitung atau mengalkulasi kerumitan jejaring ekonomi, tetapi menimba air dari sumur laga bola. Artikulasi urakannya; Wenger tidak sedang berhitung dengan perolehan poin kredit yang disimbolkan dalam bobot angka, tetapi berkata dengan kerendahan hati bak seekor cacing, bahwa manajer hendaknya bertugas bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani. Mengapa? Ini bukan sekadar permainan bahasa (language game), melainkan berefleksi bahwa barang siapa ingin menjadi yang pertama, maka hendaknya ia menjadi yang terbelakang. Dikisahkan bahwa ada keramaian di antara para binatang. Dewa Jupiter akan memberi hadiah kepada hewan yang mempunyai bayi paling cantik. Binatang dari seluruh rimba pun berkumpul dalam kelompok besar. Mereka datang dari bukit dan lembah, dari padang rumput dan sungai. Mereka semua membawa anak untuk dinilai. Monyet datang sambil memeluk bayinya. Jupiter berhenti dan tertawa ketika melihat makhluk kecil yang hidungnya pesek, tanpa rambut itu. "Kau tidak punya kesempatan untuk menang," kata Jupiter. Setelah mendengar pernyataan dewa besar itu, monyet memeluk anaknya sambil berbisik, "Aku tidak peduli apa kata Jupiter atau yang lain. Bagiku, kau adalah bayi paling cantik di dunia." Pesan yang ingin disampaikan kisah itu bahwa kecantikan terpulang kepada siapa yang melihatnya. Sementara itu, pesan yang hendak dikemukakan oleh Wenger bahwa kerendahan hati adalah keutamaan yang mengingatkan manusia akan sisi lemah dan sisi mulia dari kemanusiaan. Baik fabel aesop maupun Wenger menunjuk kepada pendapat dari filsuf Nietzsche bahwa manusia adalah hewan yang sakit (ein krankes Tier). Manusia, menurut dia, terdorong untuk hidup menurut nafsunya, terutama nafsu berkuasa (Jeinseits von Gut und Bose). Ternyata, manusia juga berkesadaran untuk melawan nafsu-nafsu itu. Sementara itu, filsuf Merleau-Ponty mengemukakan, manusia adalah kesatuan jasmani-rohani. Manusia adalah badannya, dan badan adalah manusia. Atau juga, "badanku bukan saja ekspresi, tetapi apa juga apa yang diekspresikan". Baik Wenger maupun Merleau-Ponty berasal dari Prancis. Keduanya ingin melahirkan hikmat dari rahim kebeningan jati diri kemanusiaan. Keduanya beranggapan bahwa badan tidak dapat dipikirkan tanpa kepribadian manusia yang meresapinya. Jiwa tidak dapat dipahami, kalau tidak diwujudkan dalam perilaku. Nah, bukan kebetulan pula bila Wenger bersitegang dengan salah satu ikon sepakbola Prancis, Michel Platini, yang kini menjabat sebagai presiden Asosiasi Persatuan Sepakbola Eropa (UEFA). Keduanya terlibat adu argumentasi seputar apa yang perlu diprioritaskan, sepakbola atau kepentingan bisnis. Platini, dalam wawancara dengan harian Prancis, Le Dauphine Libere menyatakan penolakannya atas usulan Wenger yang meminta para pelatih untuk menyaksikan tayangan ulang video untuk membantu para wasit. "Saya bicara sepakbola. Ia (Wenger) bicara bisnis. Arsene semata mengejar juara, menjadi nomor satu," katanya. Ketika menjawab pertanyaan mengenai usulan Wenger itu, orang nomor satu di badan sepakbola Eropa itu mengatakan, "Saya hanya ingin Arsene Wenger melihat peristiwa yang sesungguhnya terjadi di lapangan." Mantan playmaker tim nasional sepakbola Prancis itu bersimpati dengan kejutan yang dipetik oleh salah satu klub Rumania, CFR Cluj, atas AS Roma dengan skor 2-1 di laga Liga Champions pada pekan lalu. "Ini yang membuat sepakbola menjadi indah. Ini pula yang tidak dilihat oleh orang seperti Wenger. Ia tidak ingin melihat tim kecil mengalahkan tim besar, karena mereka hanya berorientasi bisnis," kata Platini. Wenger tidak ingin mati angin. "Saya terkejut dengan pernyataan bernuansa agresif dari Platini. Saya pendukung adanya manajemen yang sehat dan terciptanya keseimbangan keuangan di klub, dan UEFA harus mendukung gagasan mengenai kesetaraan. Saya terus berjuang bagi masa depan pertandingan sepakbola," katanya kepada harian olahraga Prancis, L`Equipe. Wenger yang mulai menangani Arsenal sejak 1996 menebar jala keyakinan bahwa keadilan dan kesetaraan suatu laga dapat diraih salah satunya dengan penggunaan tayangan video ulangan pertandingan. "Saya beranggapan bahwa UEFA punya peran penting untuk memainkan proses ini. Saya berpihak kepada keadilan dalam sepakbola dan UEFA seharusnya bertanggungjawab atas soal ini," tuturnya. Perseteruan kedua dedengkot bola asal Prancis itu berujung kepada bagaimana dan dari sisi mana pembacaan suatu persoalan. Keduanya perlu "pulang" kepada kenyataan akan kebertubuhan manusia. Baik Wenger maupun Platini perlu mencermati arah jarum jam perjalanan klub Manchester City ketika ingin membongkar klaim empat raksasa di Liga Inggris yang dikangkangi oleh Manchester United, Chelsea, Liverpool, dan Arsenal. Baik Wenger maupun Platini ingin memerankan diri sebagai guru kepada manajer di segala lini bisnis. Ungkapannya sederhana: yang kuat mengambil dari yang lemah, tetapi yang pintar mengambil dari yang kuat. Praktisnya, jangan merekrut pemain atau pelatih yang yes-man atau bermental asal bapak senang (ABS), karena dia lebih memilih kantongnya tambun, ketimbang memberi asupan kritis dan menyuapkan gizi argumentatif. Orang jenis itu lebih memilih penampilan luaran, karena melihat manusia sebagai onggokan daging yang memerlukan kosmetik, ketimbang menggumuli percik keindahan wacana (diskursus). Camkan apa yang diniatkan oleh petinggi Manchester City, Khaldoon Al Mubarak. Dengan mengusung label sukses, ia menyatakan, para pemilik klub berencana membangun dinasti dalam 10 tahun ke depan. Manajemen akan menjalin kerjasama dengan manajer Mark Hughes. "Kami akan bekerja bersama dengan Garry Cook dan Mark. Keduanya betugas mengambil keputusan dalam bidang sepakbola. Kami terus mencermati dan mempelajari setiap perkembangan. Saya hanyalah pendukung, bukan ahlinya," katanya. Sebelum Sheikh Mansour bin Zayed al Nahyan dengan kelompok bisnis Abu Dhabi United, maka yang bercokol di Manchester City ada figur Thaksin Shinawatra, pebisnis dan mantan Perdana Menteri Thailand yang digulingkan militer. Kedatangan pemodal dari Timur Tengah itu menyulap City menjadi klub yang relatif kaya, bahkan bakal melebihi suntikan dana dari milyarder Rusia Roman Abramovich kepada Chelsea. Bilyuner asal pemodal Timur Tengah itu mulai mengerling kepada penyerang Brazil Robinho yang kini berlabuh di Real Madrid. Bursa transfer di Liga Inggris bakal gunjang-ganjing dengan atmosfer yang dibawa para sheik itu. Robinho dibandrol senilai 32,5 juta poundsterling atau 59,95 juta dolar AS. Jumlah yang tergolong aduhai bagi kacamata transfer pemain. Gayung pun bersambut. Pasukan City memulai awal musim kompetisi Liga Inggris dengan mengaramkan Portsmouth 6-0. Al Mubarak kontan angkat suara, "Kami punya sejumlah pemain bertalenta. Mark adalah sosok yang bijak. Ia manajer sejati, karena ia bernalar dengan jernih. Ia punya segala kriteria yang kami inginkan selama ini sebagai pelatih kepala." Al Mubarak ingin seluruh pasukan City bermain dengan hati riang karena merasa "enjoy" dengan klub tempat para pemain dan pelatih bernaung. Ia sama sekali tidak berujar kepada anak buahnya, "silakan ambil atau tinggalkan", kepada segala jenis pekerjaan, tetapi memotivasi dengan memberi serangkaian argumentasi bernas mengenai kondisi City sesungguhnya kemudian merajut masa depan guna meraih trofi di laga Eropa dan Liga Inggris. Meski pesaingnya Manchester United, City terus mengatrol kepercayaan diri. Rumusnya, menampilkan sejumlah pemain muda jebolan akademi sepakbola Manchester City yang akan dibangun dalam kerangka kerja City untuk 10 tahun ke depan. Formula dari City dalam meraih sukses, yakni melakukan pembibitan pemain-pemain berbakat lewat jalur pendidikan. Soalnya, bukan City jadi klub kaya atau tidak kaya, boleh atau tidak boleh masuknya modal asing, tetapi lebih kepada pandangan utuh dan menyeluruh dari teks bernama sepakbola, yang mengandalkan olah tubuh dan olah otak. Sepakbola bukan semata okol atau otot, tetapi akal budi. Perbincangan beraroma pertentangan wacana dari Wenger dan Platini serta masuknya pemodal Timur Tengah di tubuh City hanya ingin menegaskan bahwa sepakbola melahirkan logika tubuh. Tubuh hendaknya dipahami sebagai tingkah laku dan sebagai cara membawa diri. Ini yang menjadi salah satu pilar kekuatan dari gaya memimpin Arsene Wenger di Arsenal. Wenger tahu bahwa kekuasaan tertanam dalam tubuh. Tubuh dibenum dalam sejarah wacana. Tubuh menjadi bermakna melalui suburnya wacana, bukan dangkalnya politik kosmetik atau aneka politik tebar pesona. Dan, sepakbola bukanlah sekadar memamerkan merk, tetapi melakoni prosedur kekuasaan yang berciri disiplin. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008