New York, (ANTARA News) - Begitu banyaknya konflik di berbagai belahan dunia yang tak kunjung berakhir membuat Indonesia terpanggil untuk berbagi pengalaman ketika Indonesia sukses menjadi mediator untuk berbagai konflik di kawasan. Cerita sukses tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda, ketika menyampaikan pandangan Indonesia saat berlangsungya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Dewan Keamanan yang berlangsung di Markas Besar PBB, New York, Selasa (23/9) waktu setempat. KTT yang digelar di sela-sela penyelenggaraan Sidang ke-63 Majelis Umum PBB itu dihadiri oleh para kepala negara/pemerintahan 15 negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhalangan hadir pada Sidang Majelis Umum PBB tahun ini, Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda. Di KTT yang membahas "Mediasi dan Penyelesaian Sengketa" sebagai tema utama debat hari Selasa (23/9) tersebut, Hassan berbagi setidaknya tiga cerita sukses Indonesia menjadi penengah sengketa yang terjadi di luar negeri, yaitu kasus Front Pembebasan Nasional Moro di Filipina, perang saudara di Kamboja, serta potensi konflik di Laut China Selatan. "Kebanyakan mediasi ini berhasil karena Indonesia dipercaya oleh semua pihak. Kami waktu itu punya satu agenda yang jelas, yaitu memastikan terciptanya lingkungan yang lebih damai bagi kami sendiri dan tetangga-tetangga kami," kata Hassan. Negosiasi antara pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Nasional Moro yang dimediasi oleh Indonesia tahun 1990-an --saat itu Hassan Wirajuda sendiri yang menjadi ketua komite perundingan-- berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian damai. Perjanjian tersebut mengakhiri pemberontakan yang sebelumnya telah berlangsung selama dua dekade di Filipina selatan. Tahun 1980-an, demikian papar Hassan, keberhasilan Indonesia tercatat dalam membantu Kamboja mengakhiri perang saudara berpuluh-puluh tahun. Melalui pertemuan-pertemuan informal yang digelar di Jakarta, pihak-pihak yang bertikai di Kamboja dapat melakukan pertemuan dan perundingan secara produktif. Pertemuan-pertemuan informal yang digagas Indonesia tersebut kemudian melibatkan peran PBB serta 19 negara lainnya dan kemudian menghasilkan perjanjian damai yang ditandatangani di Paris, Perancis, pada Oktober 1991. "Tak lama kemudian, kesepakatan damai di antara mereka berujung pada lahirnya Kerajaan Kamboja," tutur Hassan. Di kawasan Laut China Selatan, Indonesia juga berhasil menggiring terwujudnya Tata Perilaku (`code of conduct`) disetujui oleh China dan ASEAN. Tata Perilaku itu merupakan hasil dari rangkaian lokakarya informal yang digelar Indonesia pada awal 1990-an dengan fokus membicarakan upaya-upaya untuk mengelola kemungkinan konflik di Laut China Selatan. "Saat itu ada bahaya yang mengancam, yaitu para pihak yang saling mengklaim seluruh atau sebagian wilayah tersebut bisa terlibat dalam konfik senjata. Karena itu, Indonesia mengundang tokoh-tokoh dari negara-negara pengklaim untuk berpartisipasi dalam lokakarya," ujar Hassan. Pertemuan-pertemuan informal melalui lokakarya tersebut akhirnya menghasilkan berbagai upaya bersama untuk mengelola potensi konflik, yaitu dengan membuat berbagai aturan dalam rangka saling membangun kepercayaan di antara negara-negara yang mengklaim wilayah Laut China Selatan. "Tidak mudah untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk berdialog. Harus ada seseorang yang dipercaya oleh semua pihak untuk memandu dialog," kata Hassan. Indonesia menyiratkan harapan agar PBB dapat menjadi mediator yang efektif untuk membantu berakhirnya berbagai konflik yang telah sekian lama terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di kawasan Timur Tengah, Amerika, Eropa Tengah, dan di Afghanistan. "Pengalaman Indonesia dalam melakukan mediasi tentu tidak bisa dibandingkan dengan pengalaman yang telah begitu banyak dialami oleh PBB," kata Hassan. "(Tapi) PBB yang didukung oleh unit mediasi, bisa mendapat lebih banyak keberhasilan dalam upaya menciptakan perdamaian," tambahnya. Dewan Keamanan saat ini beranggotakan 15 negara, yaitu lima anggota permanen --AS, Inggris, Perancis, Rusia dan China-- serta 10 anggota tidak tetap, yaitu Indonesia, Belgia, Italia, Kroasia, Kosta Rika, Panama, Afrika Selatan, Burkina Faso, Vietnam, dan Libya.(*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008