Oleh Imam Hanafi
Kotabaru (ANTARA News) - Meski hujan deras disertai angin kencang subuh itu mengguyur Kotabaru dan sekitarnya, dengan sendal jepit warna biru yang sudah mulai tipis, Siti Zulia tetap saja menggerakkan kakinya menelusuri lorong kecil di Jalan Suryagandamana yang becek, menuju pasar Kemakmuran sekitar 600 meter dari tempat tinggalnya.
Di pasar subuh komplek Pasar Kemakmuran, janda yang berumur 50 tahun lebih tersebut, satu persatu mulai memilih telur ayam ras yang baik, karena jika salah satu telur yang ia pilih rusak, itu berarti kerugian besar akan dialaminya.
Setelah memilih 100 biji telur ayam, ibu dari lima orang anak tersebut, mulai meminta pemilik toko beberapa kilo gandum dan gula merah, panili serta garam, untuk melengkapi bahan baku membuat kue "apam barandam", yang akan dijual di "pasar wadai".
Apam/bolu barandam, merupakan makanan khas yang "muncul" hanya sekali dalam satu tahun, yakni khusus di bulan puasa atau lebaran.
Siti Zulia yang telah lima tahun menjadi janda, setelah diceraikan oleh suaminya, Abdul Gaffar, adalah satu-satunya penduduk Kotabaru yang masih gigih mempertahankan ketrampilannya membuat kue apam barandam.
Hampir sebagian besar kue apam barandam yang dinikmati dalam berbuka puasa oleh penduduk Kotabaru, tidak terlepas dari sentuhan tangan janda yang masih menghidupi tiga orang anaknya itu.
Meski status dalam keluarganya, Zulia berprofesi "ganda" yakni menjadi seorang ibu dan sekaligus "bapak" yang harus mencari nafkah. Wanita berdarah Jawa dan Banjar tersebut tetap saja tegar, dan optimis dalam menghadapi cobaan hidup setelah ditinggalkan suaminya.
Dengan bermodalkan uang kisaran Rp125 ribu, dan ketrampilan yang diturunkan dari sang ibu almarhumah yang diputar setiap hari, Zulia mengais rejeki selama bulan Ramadhan dengan membuat kue apam barandam.
Setiap hari selama bulan Ramadhan, Zulia membuat kisaran 400-500 biji kue apam barandam yang dijual di pasar wadai, dan memenuhi pesanan pelangganya di Kotabaru.
Setiap biji apam barandam lengkap dengan air gula dijual Zulia dengan harga Rp2,000 kepada pedagang eceran, dan oleh para pelangganya kue tersebut dijual dengan harga Rp2,500, sehingga pedagang mendapat keuntungan sebesar Rp500 per biji kue.
Dan setelah pelangganya menyetorkan hasil jualannya pada malam hari, Zulia baru dapat menghitung keuntungannya. Keuntungannya akan berkurang jika kue buatannya tidak habis terjual, karena hampir setiap hari ada beberapa biji kue tidak laku dijual oleh pelangganya di pasar wadai.
Zulia menjadikan kue yang tidak laku tersebut sebagian untuk dimakan sendiri, tetapi sebagian besar dibagikan kepada tetangga dekatnya di komplek Masjid Raya Khusnul Khotimah.
Dengan melihat ketiga anaknya yang masih memerlukan biaya besar tersebut, Zulia tak kan lupa setiap malam hari selama Ramadhan memasukkan uang hasil keuntungan membuat kue kedalam kotak bekas susu.
Setelah dikurangi modal dan belanja keperluan sehari-hari, sisa hasil keuntungan Zulia dikumpulkan ke dalam kotak bekas susu, untuk kebutuhan setelah Ramadhan.
"Keuntungan membuat kue apam barandam selama Ramadhan cukup untuk kebutuhan satu tahun," kata Zulia, sambil menyeka keringat di wajahnya, saat mengola adonan kue barandam.
Selama satu bulan puasa, ia mampu memperoleh keuntungan sekitar Rp5-Rp6 juta, dan keuntungan tersebut dipergunakan untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari selama 11 bulan, meskipun keluarganya harus berhemat dengan makan ala kadarnya dan sayur tempe dan tahu.
"Setelah Ramadhan berakhir, kami hanya berjualan sayur-sayuran untuk menambah belanja sedikit-dikit, karena ada tabungan keuntungan dari membuat kue apam barandam," katanya.
Berbeda dengan kondisi Ramadhan dua tahun terakhir, berjualan kue apam sepi pembeli bahkan kondisi tersebut dialami oleh Zulia sudah dua tahun ini.
"Jika tahun-tahun lalu, diakhir Ramadhan kami masih meraup keuntungtan Rp5-Rp6 juta, tetapi tahun Ramadhan tahun lalu jualan kue apam barandam mulai sepi, dan ini dialami oleh beberapa pembuat kue lokal yang lainnya," kata Zulia.
Makanan khas Ramadhan mulai kurang diminati oleh masyarakat Kotabaru. Mereka lebih memilih makanan "baru" yang dikemas dengan rapi dan menarik.
Beberapa perajin kue khas tradisional tersebut mulai malas membuat kue, karena hampir sebagian besar kue yang memiliki cirikhas warna alami dan harum pandan, dan paneli tersebut dikembalikan oleh pedagang eceran.
Bahkan beberapa jenis kue khas Banjar yang biasa dibuat untuk makanan pembuka berbuka puasa, akhir-akhir ini mulai sulit didapatkan di pasar wadai di Kotabaru, karena tergeser oleh jenis makanan `eropa` (humberger dan pizza).
Kue lamang, bingka nangka, kentang, waluh dan bingka, apam barandam, kelalapon, gakicak, sasagon, cucur, wajik, cangkarok batu, bubur, apam, garigit, ilat sapi, dan wadai satu hanya sedikit ditemui di pasar wadai.
Sedangkan penganan siap saji yang dibuat oleh perusahaan besar dan industri menengah seperti, humberger, pizza, dan ayam goreng (FC) banyak di tawarkan di stan pasar wadai dan pedagang kaki lima di Kotabaru.
Kemasan biasa dan penyajian yang ala kadarnya, membuat penganan khas Banjar, yang dibuatan para ibu rumah tangga tersebut tidak mampu menyaingi makanan siap saji dengan kamasan yang menarik dan mengundang selera tersebut.
Meski harga kue lokal hanya berkisar Rp1.000-Rp5.000/biji, lebih murah dibanding humberger Rp15.000/ bungkus dan pizza Rp10.000/ bungkus. Masyarakat Kotabaru lebih tertarik membeli makanan ala eropa.
Selain gengsi, masyarakat juga ingin mencoba-coba merasakan makanan yang biasa disaksikan hanya melalaui layar televisi.
Khoirunnisa dan Aulia, warga Baharu, mengaku senang membeli humberger dan pizza. Ketimbang membeli kue di pasar wadai.
"Selain dikemas dengan baik dan rapi, cara menyajikan dan berjualannya juga membuat pengunjung pasar terpikat untuk mencoba makanan tersebut," katanya.
Seiring dengan perjalanan waktu dan selera masyarakat Kotabaru yang mulai berubah, Zulia mulai kesulitan untuk mempertahankan ketrampilannya membuat kue.
Ia mencoba membuat sambal goreng teri dicampur dengan kacang tanah, dengan bumbu bawang merah dan putih, cabe ditambah dengan gula merah dan garam.
Dengan bermodalkan uang Rp50 ribu, Zulia membuka usaha berjualan sambal teri tersebut di stan pasar wadai, meskipun masih belum banyak warga yang membeli makanan olahnnya itu.
Selain berjualan sambal goreng teri, Zulia juga memberanikan diri berjualan sayur masak khas Banjar dengan menawarkan beberapa jenis menu, diantaranya gangan asam, asam manis, coto banjar, dan beberapa menu lainnya.
"Kalau tidak kreatif kami tidak dapat menghidupi keluarga kami, apalagi kebutuhan saat ini meningkat akibat semua barang-barang harganya melonjak," katanya.
Zulia mengharapkan peran pemerintah memberi kesempatan pelatihan untuk mengemas makanan, dan mengolah makanan lokal dengan berbagai rasa dan menu, kepada pedagang kecil yang menjual makanan khas daerah.
Karena dengan kemasan yang lebih bagus, dan citarasa yang lebih banyak macamnya, masyarakat akan kembali berselera untuk membeli makanan lokal tersebut.
Untuk membantu masalah yang dihadapi pedagang kecil dan menengah di daerah, pemerintah Kabupaten Kotabaru, melalui instansi terkait sedang menyusun program kerja.
Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kotabaru, H. Mahmud Dimyati, mengatakan sebanyak 82 stan pasar wadai yang di gelar di Jalan Pangeran Indra Kesuma Jaya, Kotabaru, hanya sebagian kecil stan yang menawarkan makanan tradisional.
"Meski tidak banyak yang ditawarkan para pedagang, walaupun agak sulit makanan khas daerah masih ada di jumpai di sejumlah stan," katanya.
Mahmud menambahkan, pada periode mendatang pihaknya akan melakukan perubahan stan pasar wadai, termasuk diantaranya akan menonjolkan penganan khas daerah disamping makanan dari beberapa daerah lain. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008