Jakarta (ANTARA) - Lazimnya mahasiswa fakultas teknik selepas rampung kuliah hampir pasti akan mengejar karier di perusahaan yang menjanjikan gaji besar. Namun lain dengan Singgih Triono, pria asal Wangon, Jawa Tengah, itu justru memenuhi panggilan hatinya untuk menjadi guru.
Pilihan untuk menjadi guru sejatinya dilatarbelakangi kecintaannya pada dunia anak-anak. Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara sejak kecil Singgih yang lulus dari Fakultas Teknis Universitas PGRI Indraprasta Jakarta itu sudah terbiasa ditugasi sang ibu untuk menjaga adik-adiknya.
Berlanjut ketika selepas SMK, ia merantau ke ibu kota dan tinggal di rumah kerabatnya, Singgih mendapat amanat untuk menjaga keponakannya yang masih kecil-kecil.
Maka sembari kuliah, ia sekaligus menjaga keponakan bahkan meluas ia seakan menjadi tempat penitipan anak dari para tetangga di kompleks tempat tinggalnya ketika itu.
Baca juga: Ketua DPR: Pemerintah wajib tingkatkan kesejahteraan guru
Saking dekatnya dengan dunia anak, Singgih Triono yang kini tercatat sebagai salah satu Guru TK Sekolah Karakter Depok punya cara tersendiri agar mudah menyampaikan materi saat mengajar.
Berbeda dengan cara mengajar di kelas yang lazim dilakukan rekan sejawatnya, Singgih memilih untuk lebih banyak membawa alat peraga dan mengajak anak-anak didiknya untuk belajar langsung di tempat terbuka.
Tak heran jika kerap kali, Singgih terlihat membawa tanaman, hewan, dan berbagai alat peraga yang bahkan tak pernah dilihat anak-anak didik di rumah mereka masing-masing.
Suatu kali, ia membawa ke sekolah bebek peliharaannya di rumah, bahkan pernah suatu kali ia menangkap ular melakban mulutnya, dan memperkenalkannya kepada anak-anak.
Singgih selalu menjalankan perannya secara total sebagai guru dan berkomunikasi dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami anak-anak. Tak heran jika kemudian ia begitu mudah disukai dan menjadi guru favorit anak-anak didiknya.
Pohon Ceria
Panggilan hati untuk mengajar bagi Singgih bukan semata caranya untuk mencari nafkah atau menjalani pekerjaan.
Jauh sebelum ia menjadi guru di sekolah formal, Singgih pernah bekerja untuk menjaga seorang anak berkebutuhan khusus untuk belajar. Sembari menunggu anak sang majikan belajar di klub sepak bola, ia melihat ada beberapa anak bermain di sebuah tanah kosong di sekitar Waduk Pluit.
Trenyuh melihat mereka berkegiatan tak tentu arah dan lantaran banyak dari anak-anak itu juga tak sekolah, Singgih berinisiatif untuk mengumpulkan anak-anak itu bermain bersama. Ia juga melihat begitu banyak anak kecil yang tak punya fasilitas bermain memadai di kawasan kumuh Pantai Indah Kapuk.
Berawal dari hanya dua orang, kelompok bermain yang diinisiasi oleh Singgih itu kemudian disambangi lebih banyak anak. Singgih pun tak semata mengajak mereka bermain namun juga belajar bersama.
Jadilah kemudian, ia membuka sekolah informal gratis untuk anak pinggiran Jakarta bertajuk Pohon Ceria di Pantai Indah Kapuk (PIK). Empat tahun berlalu kini dari hanya dua orang, anggota Pohon Ceria sudah mencapai lebih dari 60 anak.
Kelas pohon ceria hanya dibuka pada akhir pekan saja, sebab pada hari kerja, Singgih masih aktif mengajar sebagai guru sekolah formal. Di bawah pohon Singgih mengajak anak-anak untuk mengenal huruf, mendongeng, bahkan makan dan senam bersama-sama.
Kerap kali ia menyisihkan uang tabungannya untuk membelikan alat-alat tulis, buku-buku untuk anak, hingga makanan kecil untuk mereka. Tak jarang ia meminjam mainan dan buku-buku anaknya untuk dibawa bagi anak-anak pohon ceria.
“Anak dan istri saya awalnya sering komplain, ini mainan kok jadi kotor, bukunya ada yang sobek tapi setelah saya jelaskan mereka paham,” kata Singgih.
Tidak sulit bagi Singgih untuk menjalankan perannya sebagai guru lantaran dukungan penuh anak dan istrinya. Terlebih sang istri pun pernah menjadi guru sebelum mereka menikah.
Instruktur Guru
Singgih di sisi lain dituntut untuk menularkan kompetensinya sebagai guru kepada sesama sejawatnya.
Ia yang terbiasa mengedepankan pembelajaran karakter ketika mengajar anak-anak didiknya sejak beberapa tahun silam menjadi instruktur nasional guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Maka ada saatnya ketika Singgih harus bertugas dari sekolah ke sekolah untuk berbagi ilmunya kepada teman-teman gurunya.
Bagi rekan sesama guru, Singgih adalah inspirasi seseorang yang begitu amat mencintai dan mensyukuri profesinya. Ia bekerja sepenuh hati lantaran sesuatu yang dihadapinya adalah hal yang membuatnya bersemangat.
Tak heran kemudian ketika ia mendapatkan perhatian yang begitu mudah dari anak-anak didiknya. Perhatian yang terfokus akan mempermudah bagi seorang guru untuk menyampaikan materi dalam mengajar.
Dan mengajar bagi Singgih juga bukan semata duduk manis di dalam kelas namun memenuhi fitrah anak-anak untuk bermain dan memenuhi rasa ingin tahunya di alam terbuka dengan tetap mengajarkan bagaimana budi pekerti dan menggali karakter baik dari masing-masing anak
Sejatinya Indonesia saat ini masih sangat memerlukan peran guru yang mendidik anak-anak untuk menemukan karakternya, memampukan daya saingnya, dan meneguhkan moralitas hidupnya dari sumber mata air bernama pendidikan.
Dan hanya melalui gurulah, semua mendapatkan benih terbaik pendidikan yang ketika saatnya disemai nanti akan mengantarkan pada yang dicita-citakan.
Baca juga: Widyawati : Budi pekerti perlu diajarkan di sekolah
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019