Bangkok (ANTARA News) - Setahun setelah aksi kekerasan brtutal Myanmar terhadap para pelaku aksi protes yang dipimpin para bhiksu Budha, dunia masih beda-pendapat mengenai bagaimana menangani rezim tersebut, yang membuat pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi sendirian menghadapi para jenderal.
Dengan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang tak punya daya untuk memaksa perubahan atas rezim militer, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian berumur 63 tahun itu kadang-kadang menggunakan tindakan sangat menyedihkan agar protes bungkamnya didengar.
Aung San Suu Kyi, yang menjalani tahanan rumah hampir 19 tahun terakhir, tak mau menemui utusan PBB Ibrahim Gambari pada bulan lalu, dan mulai menolak hantaran makanan hariannya sampai dia menjadi kurus dan lemah.
Pada 22 September tahun lalu, Aung San Suu Kyi mendapat perpanjangan tahanan rumahnya, yang disambut tetesan airmata oleh para pendeta Budha, yang memprotes terhadap militer, yang telah memerintah negara ini sejak 1962.
Pada hari-hari selanjutnya, lebih dari 100.000 orang ikut ambil bagian aksi turun ke jalan sampai pasukan keamanan melancarkan tindakan keras pada 26 September. PBB memperkirakan 31 orang tewas, 74 orang lainnya hilang, dan ribuan lagi ditahan.
Berdasarkan tekanan global, terutama dari China tetangganya, rezim membuat beberapa konsesi, antara lain menunjuk seorang pejabat penghubung pada Oktober, untuk mengkoordinasikan kontak-kontak dengan Aung San Suu Kyi.
Hanya sebulan kemudian, dia mengungkapkan keinginan untuk melakukan perundingan tingkat tinggi, yang tak pernah direalisasikan.
Upaya-upaya PBB untuk melancarkan dialog dengan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) di samping para pemimpin etnis, sekarang mengalami kebuntuan, sementara Myanmar saat ini menurut Amnesti Internasional menguasai lebih dari 2.000 tahanan politik, daripada yang mereka lakukan sebelumnya pada `Revolusi Jingga.`
"Saya tak berpikir bahwa militer sedang mempersiapkan kerjasama dengan Aung San Suu Kyi - karena mereka melihat dia sebagai ancaman, maka mereka tidak akan bekerjasama dengan dia," kata analis Myanmar Aung Naing Oo, yang sekarang tinggal di pengasingan di Thailand.
Masyarakat internasional masih berbeda pendapat tentang Myanmar. Negara-negara Barat memperketat sanksi-sanksi dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mencerminkan kekesalan mereka.
Tetapi China, Rusia, India dan negara-negara Asia lainnya menolak konfrontasi dengan rezim itu, atas nama `tidak turut-campur` urusan dalam negeri mereka.
Pada Mei lalu, pemimpin junta Than Shwe, 75 tahun, tidak ragu-ragu untuk mendesak melalui konstitusi baru yang menguntungkan pihak militer - bahkan pada saat negara baru saja dihantam badai topan yang menewaskan lebih dari 138.000 orang, dan 2,4 juta lainnya hilang memerlukan bantuan.
Setahun setelah aksi protes, kemarahan rakyat telah digantikan dengan pengunduran diri.
"Militer benar-benar berkuasa dan NLD tak punya banyak kartu yang dimainkannya," kata John Virgoe, dari Kelompok Krisis Internasional, demikian AFP.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008