Jakarta (ANTARA) - Permasalahan alumni 212 dan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah selesai.
Aksi Reuni 212 pada tanggal 2 Desember 2019 ternyata tak menargetkan penunjukan Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina.
Ketua Panitia Reuni Akbar 212 Awit Masyhur menyatakan bahwa pihaknya tidak masalah jika Ahok mau ditunjuk sebagai petinggi BUMN asal dia tidak lagi menyinggung masalah agama.
"Yang penting jangan singgung masalah agama lagi. Itu 'kan urusan jabatan di BUMN. Kami sudah tidak ada urusan ke sana," ujar Awit saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu (24/11).
Pernyataan itu mengonfirmasi jika masalah penunjukan Ahok itu hanya masalah lain yang tidak merupakan bagian dari pergerakan alumni 212.
Aksi 212 pertama kali digelar 2016 terkait dengan desakan untuk dilakukan pemidanaan terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang dituduh menista agama. Pada tahun ini adalah tahun ketiga Reuni Akbar 212 digelar.
Baca juga: Massa alumni 212 berbagi sarapan gratis
Permasalahan penodaan agama yang dituduhkan kepada Ahok telah berakhir sejak putusan majelis hakim Mahkamah Agung menolak upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Ahok.
Adapun majelis hakim yang menangani peninjauan kembali Ahok, diketuai oleh Artidjo Alkostar dengan beranggotakan Salman Luthan dan Sumardijatmo.
Sebelumnya, Ahok mengajukan PK diwakili oleh kuasa hukumnya pada tanggal 2 Februari 2018 kepada MA, melalui Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memutus perkaranya pada tingkat pertama.
Ahok mengajukan PK terhadap putusan PN Jakarta Utara Nomor: 1537/Pid.BlZO16/PN.Jkt.Utr yang telah berkekuatan hukum tetap.
Saat mengajukan PK, hukuman pidananya telah hampir setahun dijalani setelah putusan majelis hakim PN Jakarta Utara pada tanggal 9 Mei 2017 memutuskan menjatuhkan pidana penjara 2 tahun terhadap Ahok karena perkara penodaan agama.
Ia kemudian mengajukan permohonan banding terhadap putusan hakim. Namun, hakim lalu mencabut pemohohan bandingnya.
Ahok terjerat perkara penodaan agama setelah video pidatonya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, ketika dia menyebut adanya pihak yang menggunakan Alquran Surah Almaidah 51 untuk membohongi, beredar, dan memicu serangkaian aksi besar dari organisasi-organisasi massa Islam.
Baca juga: MA tolak peninjauan kembali Ahok
Baca juga: Kuasa hukum Ahok tunggu MA soal penolakan PK kasus penodaan agama
Siapa Tolak Ahok?
Nama Ahok kembali ramai diperbincangkan usai dirinya mendatangi Kantor Kementerian BUMN dan Ahok mengaku diajak untuk masuk di salah satu BUMN.
Menteri BUMN Erick Thohir pun menyebut pria yang juga beken dipanggil BTP (Basuki Tjahaja Purnama) tersebut sebagai sosok pendobrak dan diyakini bisa mempercepat kerja BUMN sebagaimana arahan Presiden. Saat itu Erick belum membeberkan secara perinci posisi dan BUMN mana Ahok ditempatkan.
Namun, santer dikabarkan jika Pertamina yang jadi tempat berlabuh Ahok. Merespons hal tersebut, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) menolak apabila Ahok masuk menjadi direksi atau komisaris Pertamina.
Presiden FSPPB Arie Gumilar mengatakan bahwa tak bisa membayangkan kalau yang bersangkutan masuk ke Pertamina kemudian ada kegaduhan di tubuh organisasi perusahaan. Hal ini akan berdampak pada pelayanan distribusi energi kepada masyarakat di seluruh pelosok negeri menjadi terganggu.
Kabar Arie maupun FSPPB terafiliasi dengan PA 212 pun mencuat dan menjadi ramai dibahas warganet setelah Presiden Serikat Pekerja Pertamina itu menolak politikus Ahok menjabat sebagai bos PT Pertamina (Persero) menggantikan Tanri Abeng sebagai komisaris utama.
Kabar itu pun dibantah oleh Arie Gumilar dan terbukti sekarang jadi tak valid lagi.
Baca juga: Ditolak SP Pertamina, Ahok: Hidup ini tidak ada yang setuju 100 persen
Tanggapan Politikus
Para politikus pun angkat bicara terkait dengan masalah penunjukan Ahok. Wakil Ketua DPR RI periode 2014—2019 Fahri Hamzah mengkritisi sikap Erick Thohir yang tidak mencoba meluruskan isu yang berkembang di publik mengenai Ahok saat ini.
"Seharusnya yang mengangkat pun berani membela. Kasihan juga Ahok jadi kayak terombang-ambing begitu," ujar Fahri usai mengisi Forum Legislasi di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (19/11).
Ahok dijadikan sasaran empuk publik yang masih tidak mau menerima orang yang bermasalah hukum karena pernah menjadi narapidana. Erick dirasa Fahri tidak melakukan pembelaan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, tepatnya pada Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 57 Ayat (1) disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai anggota direksi dan anggota dewan pengawas adalah orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
Ahok memang pernah dipenjara 2 tahun karena kasus penodaan agama. Namun, tindak pidana tersebut sepertinya tidak sampai menimbulkan kerugian keuangan negara.
Selain itu, Fahri mengatakan bahwa sikap publik masih bisa dibantah karena negara ternyata masih mengakui hak seorang mantan narapidana untuk berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
"Di Republik ini, semua orang punya hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan, orang kalau sudah menjalankan hukumannya, ya, sudah. Masa mau dihukum lagi," kata Fahri pula.
Lain lagi dengan tanggapan anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera. Ia mempermasalahkan status Ahok sebagai anggota dalam partai politik yang dianggap bertentangan dengan aturan terkait dengan pemilihan komisaris atau direksi BUMN.
Menurut dia, aturan tersebut dibuat untuk menjaga agar tidak ada konflik kepentingan di dalam BUMN.
"Ada aturan yang nanti menjaga BUMN tersebut betul-betul untuk kepentingan bangsa, rakyat, dan negara," kata Mardani saat ditemui dalam Rapat Koordinasi Nasional PKS di Hotel Bidakara Jakarta, Kamis (14/11).
Kalau aturan diikuti, siapa pun berhak untuk menempati posisi tersebut. "Menurut saya, teman-teman di Komisi VI akan mempertanyakan itu," ujar Mardani.
Baca juga: Soal Ahok ditarik BUMN, Mardani: Komisi VI DPR akan pertanyakan itu
Komisi VI DPR RI merupakan satu dari 11 komisi yang ada di DPR RI yang bermitra kerja dengan BUMN, termasuk dengan PT Pertamina (Persero). Legislator dari Komisi VI DPR RI Marwan Jafar pun angkat suara.
Marwan Jafar yang pernah menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada 2014—2016 menyebutkan ada sejumlah persyaratan bila Ahok masuk menjadi petinggi BUMN.
Pertama, dia harus bisa mengubah perilakunya, mengubah sikapnya, dan bertutur kata yang sopan, kata Marwan Jafar yang merupakan politikus Partai Kebangkitan Bangsa.
Kedua, adanya pelaporan-pelaporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang belum selesai perlu ditindaklanjuti.
Baru hal penting lainnya, menurut Marwan, adalah soal kompetensi dan profesionalitas. "Sepanjang dia (Ahok) profesional, sepanjang dia kompeten, dan bisa memperbaiki soal misalnya (Ahok) di Pertamina, tidak ada masalah," kata Marwan, Rabu (20/11).
Background Mumpuni
Ahok memiliki latar belakang (background) sebagai lulusan Fakultas Teknologi Mineral jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti dan mendapatkan gelar Insinyur Geologi pada tahun 1989.
Ahok kemudian melanjutkan pendidikan magister pada tahun 1994 dengan gelar Master Manajemen di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya.
Rekam jejak pendidikannya di bidang mineral ditambah manajamen keuangan membuat Menteri BUMN Erick Thohir lantas menunjuknya secara resmi sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) pada hari Jumat (22/11).
Erick Thohir menyampaikan hal tersebut seusai berbicara empat mata dengan Presiden Jokowi di beranda Istana Merdeka sekitar 10 menit.
"Nanti akan didampingi Pak Wamen (Wakil Menteri BUMN) Pak Budi Sadikin menjadi wakil komisaris utama. Nanti juga ada direktur keuangan yang baru, Ibu Emma (Emma Sri Martini) dari yang sebelumnya Dirut Telkomsel," kata Erick.
Erick percaya Ahok dapat mendorong perusahaan itu mencapai target perusahaan, mengurangi impor minyak dan gas, dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam pembangunan refinery (penyulingan) yang dirasa amat sangat berat. Apalagi Erick mengatakan bahwa Ahok termasuk tipe pendobrak.
"Karena itulah kenapa kemarin kita juga ingin orang yang pendobrak, bukan pendobrak marah-marah. Saya rasa Pak Basuki berbeda, Pak Ahok berbeda, kita perlu figur pendobrak supaya ini sesuai dengan target, toh, beliau komisaris utama, kan direksinya yang day to day tapi menjaga supaya ini semua (berjalan)," tegas Erick.
Baca juga: Ahok jadi Komisaris Utama PT Pertamina, sebut Erick Thohir
Harus Resign
Baik direksi maupun komisaris BUMN, kata Erick, tidak boleh terafiliasi dengan partai politik. "Pasti semua komisaris di BUMN, apalagi direksi harus mundur dari partai, itu sudah clear," ungkap Erick.
Terkait konsekuensi itu, Erick mengaku sudah membicarakannya dengan Ahok.
"Semua nama yang diajak bicara saya kasih tahu semua ini karena kenapa? Tentu independensi dari BUMN sangat dipentingkan. Insyaallah, orang-orang yang punya etika baik pasti semua tahu risiko bagaimana mengabdi untuk negara," kata Erick.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa Ahok tidak perlu mengundurkan diri dari partai ketika menjabat Komisaris Utama PT Pertamina.
"Kalau posisinya adalah sebagai komisaris, berdasarkan ketentuan undang-undang, Pak Ahok tidak masuk di dalam kategori pimpinan dewan pimpinan partai. Dengan demikian, tidak harus mengundurkan diri," kata Hasto Kristiyanto di Depok, Jumat (22/11).
Baca juga: Ahok komisaris BUMN, Hasto: Tidak harus mengundurkan diri dari partai
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019