Semarang (ANTARA News) - Wacana perlu diizinkannya calon presiden independen (perseorangan) dalam pemilihan Presiden pada Pemilu 2009 merupakan wacana baru politik di Indonesia.
Wacana itu bergulir terutama setelah Mahkamah Konstitusi meloloskan ide calon kepala daerah independen dalam pemilihan kepala daerah, kata Drs. Suprayogi, MPd, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes) di Semarang, Sabtu.
Seperti halnya sebuah wacana, hal ini tak luput dari pro dan kontra di kalangan masyarakat baik elit politik maupun masyarakat umum.
Di satu pihak, calon presiden independen itu akan semakin mengokohkan sistem presidensial karena akan mendapat dukungan langsung dari rakyat dan tidak terikat tanggung jawab terhadap partai politik, katanya.
Ia menambahkan, di pihak lain, calon presiden independen dinilai sebagai tindakan yang salah kaprah.
Munculnya calon presiden independen juga bertentangan dengan pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Dalam UUD`45 secara tegas menyebutkan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, katanya.
"Hal ini berarti, jika calon presiden independen ingin masuk, maka kita harus mengubah dahulu isi dari UUD`45 tersebut," katanya.
Sepertinya masyarakat sekarang rindu dengan calon presiden alternatif dari luar partai politik atau gabungan partai politik. Dan inilah saatnya untuk calon presiden independen melangkah.
Calon presiden independen menjadi harapan masyarakat ketika ketidakpercayaan terhadap partai politik makin meluas.
Menurut Suprayogi, masyarakat sekarang antipati terhadap partai politik. Hal itu tercermin dari tingginya angka golongan putih (golput) selama pemilihan kepala daerah.
Untuk itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi memberikan solusi terbaik, bagaimanapun juga ini semua demi kepentingan rakyat, katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008