Jakarta (ANTARA) - “Dia menjaga keluarganya, kotanya...” ujar seorang pendeta.
“21 Bridges” dibuka dengan adegan pemakaman ayah Andre Davis (Chadwick Boseman), seorang polisi, saat dia berusia 13 tahun.
Sembilan belas tahun kemudian, Andre duduk di dalam sidang disiplin. “Menjadi polisi bukan pilihan tapi DNA,” kata dia.
Dari dua perubahan peristiwa yang ditandai dengan pergantian setting tempat dan waktu ini, nampaknya sang sutradara, Brian Kirk, ingin menegaskan karakter kuat Andre sebagai detektif kepolisian New York.
Aksi Andre berawal dari penelusuran kasus baku-tembak yang terjadi di sebuah restoran pada tengah malam, yang menewaskan tujuh aparat kepolisian.
Kejadian tersebut membawa Andre dalam pengejaran dua pelaku (Stephan James dan Taylor Kitsch), yang mengambil 50kg kokain dari 300kg kokain yang tersimpan di ruangan bawah tanah restoran tersebut.
Kejadian tersebut menggegerkan banyak pihak, hingga walikota meminta FBI untuk turut mengusut, namun Andre meminta mereka untuk mempercayakan kasus itu kepadanya.
“Isolasi pulau Manhattan, dan banjiri dengan polisi!” teriak Andre.
Kepala kepolisian sektor (JK Simmons) memenuhi permintaan Andre tersebut, sekaligus menugaskan polisi narkotika (Sienna Miller) untuk terlibat dalam pengejaran pelaku menjadi partner Andre.
Seluruh jembatan (yang menjadi judul film “21 Bridges”) ditutup, jalur sungai dan terowongan diblokade, akses keluar-masuk kota dengan transportasi umum juga dihentikan sementara, hingga pukul 05.00 pagi.
Aksi perburuan Andre terhadap dua pelaku dimulai pukul 01.00 dini hari. Lika-liku pengejaran dengan pelaku terasa semakin intens, sebab Andre juga harus berkejaran dengan waktu.
Pengejaran terhadap pelaku penembakan polisi yang membawa kokain tersebut, ternyata membawa Andre menuju ke sebuah teka-teki kasus yang jauh lebih besar dari itu.
“21 Bridges” menawarkan koreografi kejar-kejaran yang cukup baik. Aksi baku-tembak juga disajikan secara cukup brutal, namun tak berlebihan.
Sementara, analisa seorang detektif menjadi suguhan tersendiri — bagaimana Andre menganalisa sebuah kejadian, seperti jumlah pelaku dan urutan kejadian.
Unsur melodrama dalam film tersebut juga seolah menjadi bumbu penyedap yang hadir dengan sejumlah dialog — Andre dengan pelaku, dengan partner, dan dengan kepala kepolisian — yang memberi jeda penonton untuk mengambil napas, sekaligus memutar otak.
Akting Chadwick sendiri patut diacungi jempol. Chadwick berhasil “melepas tahtanya” sebagai Raja Wakanda. Walaupun masih terbayang sosok Black Panther dalam dirinya, Chadwick berhasil memasukkan karakter detektif yang ada pada diri Andre.
Namun, tak salah jika penonton masih belum bisa “move on” dari Avengers saat melihat Chadwick. Sebab, produser “21 Bridges” adalah The Russo Brothers (Joe dan Anthony Russo) yang menyutradarai “Avengers: End Game” — bahkan, kata “Avengers” ada dalam dialog pada awal film dimulai.
Sementara itu, nama sang sutradara, Brian Kirk, sudah tidak asing lagi dalam dunia pertelevisian di mana “Games of Thrones,” merupakan salah satu serial televisi besutannya. “Middletown” (2006) adalah film terakhir yang disutradarinya, sehingga “21 Bridges” menjadi film yang mengembalikan BrianBrian setelah lama rehat dari layar lebar.
Dengan jaminan nama besar sang sutradara, produser, hingga pemeran utama, “21 Bridges” layak masuk dalam daftar tonton bagi mereka penggemar film action.
Baca juga: Film "Hit & Run" nominator Pekan Film Laga Internasional Jackie Chan
Baca juga: "Fast & Furious: Hobbs & Shaw", film aksi pencampur-aduk emosi
Baca juga: "Peppermint" sajikan laga dendam penuh aksi non-stop
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2019