Jakarta (ANTARA News) - Revisi Undang-Undang Mahkamah Agung yang kini dalam proses pembahasan kelompok kerja DPR RI dikritik oleh LSM Indonesian Corruption Watch (ICW).
Menurut ICW, rancangan revisi tersebut memiliki sejumlah cacat.
Cacat tersebut tidak hanya dari segi isi materi dari RUU MA, tetapi juga dalam tahapan pembahasan yang dirasakan kurang terbuka.
"Kami meminta Komisi III DPR membahas revisi UU MA secara terbuka. Karena itu Komisi III DPR harus membuka ruang dan mendengar masukan publik, terutama dari Komisi Yudisial," kata Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Junto.
Selain itu, Emerson juga mempertanyakan mengapa publik tidak pernah mendapatkan informasi jadwal proses pembahasan RUU MA.
Di sisi lain, lanjutnya, Komisi III DPR juga tidak pernah membuka ruang terhadap publik untuk memberikan masukan terhadap substansi yang sedang dibahas.
Menurut Emerson, tidak ada LSM seperti ICW, yang diajak untuk terlibat secara aktif, baik oleh pihak eksekutif maupun legislatif, dalam pembahasan RUU MA.
Emerson juga mempertanyakan mengapa pembahasan RUU MA lebih diprioritaskan dibandingkan RUU lainnya yang juga sama penting, antara lain RUU Komisi Yudisial dan RUU Mahkamah Konstitusi.
ICW khawatir RUU MA menjadi prioritas karena ada keberpihakan dari Komisi III kepada MA.
Sementara itu, peneliti ICW, Febri Diansyah berpendapat substansi dari RUU MA yang kini sedang dibahas membuat Komisi Yudisial (KY) seakan-akan menjadi subordinat dari MA.
"Di dalam RUU tersebut terdapat hal yang bias yaitu dalam pasal 32 ayat (1) tentang pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan pengadilan terletak di tangan MA. Ini membuat kewenangan KY dalam mengawasi hakim seakan-akan menjadi subordinat," kata Febri.
Oleh karena itu ICW mendesak agar pasal-pasal yang terdapat dalam RUU MA tidak mengurangi kewenangan konstitusional KY yang telah dijamin UUD 1945.
ICW juga meminta agar dalam penjelasan pasal-pasal RUU MA disebutkan secara jelas bahwa posisi KY dan MA sejajar sesuai dengan perubahan UUD 1945.
Emerson juga menganggap terdapat pasal lainnya yang dianggap bermasalah, yaitu dalam pasal yang mengatur tentang seleksi calon Hakim Agung.
Dalam Pasal 8 ayat (2a) RUU tersebut disebutkan bahwa calon hakim agung yang diusulkan KY dipilih oleh DPR sebanyak 1 orang dari 3 nama calon untuk setiap lowongan.
"Pada prakteknya, selama dua tahun terakhir KY kesulitan mendapatkan calon hakim agung yang memenuhi kriteria, oleh karena itu standar perbandingan calon Hakim Agung yang diusulkan KY dengan yang dipilih DPR idealnya adalah dua banding satu atau dua nama calon untuk memilih satu orang sebagai hakim agung," kata Emerson.
Materi lainnya yang menjadi sorotan khusus dari ICW adalah mengenai masa jabatan hakim agung yang menurut RUU MA tersebut dapat diperpanjang hingga usia 70 tahun.
Padahal, menurut ICW, pada rentang usia tersebut seseorang biasanya sudah tidak produktif lagi dan usia pensiun 70 tahun sebenarnya lebih tinggi dibanding dengan sejumlah jabatan publik lainnya.
Data yang diperoleh ICW menyebutkan usia pensiun bagi Ketua Pengadilan Negeri 62 tahun, usia pensiun bagi Ketua Pengadilan Tinggi 65 tahun, dan usia pensiun bagi Hakim Mahkamah Konstitusi 67 tahun.
Regenerasi
Febri mengemukakan, masa jabatan hakim agung di MA sudah seharusnya dibatasi seperti hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk kepentingan regenerasi.
"Pembatasan yang efektif berlaku bagi hakim MK sudah selayaknya dipertimbangkan untuk diterapkan bagi hakim agung di MA," katanya.
Sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pembatasan masa jabatan hakim MK adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Untuk itu, ICW mendesak agar peraturan yang sama juga diberlakukan untuk hakim agung di MA, agar masa jabatan untuk hakim agung juga bisa lebih singkat yaitu antara 5 tahun dan 10 tahun.
"Hal ini dapat dilihat sebagai upaya regenerasi yang berlanjut di MA sekaligus bentuk pengawasan atas kinerja, komitmen, dan integritas masing-masing hakim agung," katanya.
Menurut Febri, dengan pembatasan masa jabatan hakim agung akan memunculkan figur hakim muda yang lebih progresif.
ICW juga menduga bahwa usulan perpanjangan usia bagi hakim agung itu juga terkait dengan upaya untuk mempertahankan Bagir Manan sebagai pucuk pimpinan di MA.
Namun, dugaan tersebut ditolak dengan keras oleh Ketua Komisi III Bidang Hukum DPR RI Trimedya Panjaitan ketika ditemui sejumlah wartawan.
Menurut Trimedya, dugaan itu tidak mungkin tercapai karena Bagir Manan sudah pensiun pada awal November 2008. Sedangkan pembahasan RUU MA diperkirakan masih belum selesai pada periode tersebut.
Ia juga mengemukakan, sebenarnya masih terjadi pertentangan antarfraksi di DPR yaitu antara pihak yang menyetujui dan pihak yang menolak akan usulan perpanjangan usia pensiun tersebut.
Trimedya menuturkan, usulan perpanjangan 70 tahun itu datang antara lain dari Bagir Manan yang menyatakan bahwa jika usia pensiun tidak diperpanjang maka sekitar separuh hakim agung diperkirakan akan segera selesai masa jabatannya.
Akibatnya, MA dapat kekurangan tenaga atau orang dalam sejumlah posisi pimpinan di lembaga tersebut.
Namun yang pasti, lanjut Trimedya, DPR masih akan membahas RUU MA ini secara intensif agar dapat menghasilkan keputusan yang dirasakan benar-benar yang terbaik.(*)
Pewarta: Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008