radikalisme sekuler itu antiagama
Jakarta (ANTARA) - Tokoh dari salah satu organisasi Islam terbesar Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengatakan bahwa kata radikalisme mengandung dua pengertian, yaitu yang berdimensi positif dan negatif.
"Kata radikalisme merupakan sebuah istilah yang kemudian berubah menjadi paham, isme, dan pada dasarnya mengandung dua dimensi, yaitu dimensi yang positif dan negatif," katanya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Radikalisme mengandung arti positif karena sesuai dengan akar kata radikal, yaitu radik atau akar, yang berarti seseorang atau sekelompok orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai secara mendasar.
"Mengakar, berpegang pada akar keyakinannya. Itu positif. Nah, ini agama-agama mengajarkan demikian," katanya.
Baca juga: MUI: Perlu definisi ulang istilah radikalisme
Baca juga: Lawan gerakan radikal dengan dakwah, kata Wapres
Seseorang yang mengatakan NKRI harga mati dan negara Pancasila final adalah contoh sikap radikal yang mengandung pengertian positif karena itu kesepakatan kebangsaan.
Namun, kata radikalisme bisa mengandung arti negatif jika seseorang merasa dirinya paling benar sendiri, sementara orang lain atau kelompok lain di luar kelompoknya dianggap salah.
"Menyalahkan, mengkafirkan orang itu sikap radikal yang bersifat negatif. Jadi saya kira perlu ada kejernihan, klarifikasi tentang itu," katanya.
Baca juga: Akademisi: Perbaiki iklim kehidupan warga untuk cegah radikalisme
Baca juga: Sorotan berbeda dicuatkan pada diskusi munculnya penyebab radikalisme
Kemudian, ia juga menggarisbawahi bahwa radikalisme tidak hanya bermotif agama, tetapi bisa juga ada motif-motif nonagama, seperti sekulerisme liberalisme.
"Itu ada di dunia ini. Radikalisme sekuler itu antiagama, karena sekulerisme itu hidup manusia kini dan di sini. Tidak ada nanti dan di sana. Itu bertentangan dengan agama," katanya.
Jika radikalisme sekuler berdampingan dengan paham liberal, menurutnya, itu lebih berbahaya lagi karena paham tersebut antiagama.
Namun, ia mengatakan sah-sah saja jika ada seseorang yang ingin menjalankan ajaran agama ataupun tidak, asalkan orang tersebut tidak menyimpang dari nilai-nilai dasar yang disepakati, yaitu Pancasila.
"Sah-sah saja, mau beragama atau tidak beragama, tapi jangan kemudian ada yang memonopoli dalam kehidupan bersama ini. Apalagi menyimpang dari nilai-nilai dasar yang disepakati, Pancasila," katanya.
Baca juga: Kejaksaan Agung tingkatkan pemantauan penyebaran radikalisme
Baca juga: BNPB siapkan dana siap pakai Rp850 miliar antisipasi bencana alam
Pewarta: Katriana
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019