Ningbo, Zhejiang (ANTARA) - Sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang bisnis fesyen mengalami kesulitan dan bahkan krisis selama lima tahun terakhir.

Ada cukup banyak perusahaan yang terpaksa harus menutup beberapa toko besar dan gerai mereka untuk dapat bertahan.

Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami fenomena tersebut, di mana salah satu bisnis ritel fesyen terbesar di Tanah Air -- Matahari Department Store -- juga menghadapi kesulitan yang sama, dan bahkan Matahari telah menutup sejumlah tokonya.

Beberapa bisnis fesyen di beberapa negara di seluruh dunia memang menghadapi kesulitan akibat pergeseran cara dan kebiasaan belanja konsumen ke arah online shopping.

Oleh karena itu, belum lama ini sejumlah bisnis fesyen di beberapa negara bukan hanya mengalami krisis, namun mereka akhirnya juga mengalami kebangkrutan.

Kegagalan bisnis itu bahkan dialami oleh perusahaan-perusahaan yang telah lama berdiri dan bergerak dalam bisnis mode, salah satunya retail fesyen asal Amerika Serikat, Forever 21 yang menyatakan bangkrut pada September 2019.

Selain Forever 21, sejumlah perusahaan bisnis fesyen yang menyatakan kebangkrutan, antara lain Roberto Cavalli asal Italia pada April 2019, Sonia Rykiel asal Prancis pada Juli 2019, Diesel pada Maret 2019, Carven dan Nine West pada Mei 2018.

Kebangkrutan yang dialami banyak bisnis fesyen di beberapa negara tersebut, seperti ritel asal AS Forever 21, menunjukkan bahwa cukup banyak perusahaan yang gagal bertahan untuk menggeser cara bisnis mereka ke arah online.


Baca juga: Air China Buka Rute Baru ke Ibukota Fesyen dan Seni

Namun, di antara kegagalan dan kebangkrutan itu, ada cukup banyak juga perusahaan yang bergerak di bidang bisnis fesyen yang masih dan terus bertahan, seperti beberapa perusahaan di China.

Ubah Strategi
Youngor Group, salah satu perusahaan produsen pakaian asal China yang telah berdiri selama 40 tahun, mengaku sempat mengalami kesulitan dan bahkan harus menutup sejumlah gerainya sebelum akhirnya dapat terus bertahan dengan mengubah strategi bisnisnya.

"Youngor juga menutup beberapa gerai dan toko, namun kami juga membuka beberapa toko baru. Kami juga mengubah strategi bisnis karena sekarang ini cara dan pola belanja konsumen sudah berubah," kata Deputi Manajer Youngor Group Gaogang Hu.

Hu menyebutkan sejumlah perubahan strategi bisnis yang dilakukan perusahaannya untuk dapat terus bertahan dalam bisnis fesyen.

Salah satu langkah yang dilakukan perusahaan asal China tersebut adalah menutup sejumlah gerai kecilnya dan menggeser produk dan bisnis ke toko-toko yang lebih besar.

"Dulu kami punya banyak gerai kecil di pinggir jalan (road side shops), tetapi sekarang kami secara bertahap menggeser penjualan kami ke toko-toko di pusat perbelanjaan," ujar Hu.

Menurut dia, hal itu perlu dilakukan untuk tetap dapat melayani para konsumen yang masih berbelanja secara konvensional.

Tidak hanya menutup sejumlah gerai atau toko kecilnya, Youngor juga berupaya memperluas area persebaran toko untuk menjangkau lebih banyak konsumen di tempat-tempat berbeda.

"Kami tidak cuma menutup toko, tetapi kami juga harus memperluas area toko-toko kami. Dalam lima tahun ke depan, kami akan mengurangi jumlah toko dari 3.000 menjadi 1.000 toko. Arah utama kami adalah mengurangi jumlah toko, namun memperluas area (persebaran) toko," kata Hu menjelaskan.

Selanjutnya, perusahaan tersebut pun mengubah strategi marketing untuk menyesuaikan diri dengan perubahan kebiasaan belanja konsumen. Untuk itu, Youngor menaruh perhatian besar untuk mengoordinasikan bisnis online dan offline.

"Youngor juga memasuki indutsri e-commerce, dan sekarang ini kami berupaya mengintegrasikan bisnis offline dan online kami," ucap Hu.

Dia menjelaskan bahwa perusahaannya juga mengubah cara berjualan, di mana konsumen bukan cuma mendapat produk dengan berbelanja langsung di toko, tetapi juga toko-toko Youngor dapat mengirimkan produknya ke konsumen yang telah memesan secara online.

"Sales person kami memiliki aplikasi spesial di ponsel mereka. Platform ini sangat bagus untuk konsumen karena mereka juga bisa memesan melalui aplikasi ini sehingga mereka dapat membeli sesuatu di malam hari. Dan juga penjual kami bisa mengirim produk melalui pos ke konsumen langsung dari toko, bukan gudang," ungkapnya.

Selain itu, untuk menarik lebih banyak konsumen dan pelanggan online, Hu mengatakan bahwa perusahaannya terus mempromosikan bisnis online-nya.

"Kami memiliki banyak cara baru untuk mempromosikan bisnis online kami, termasuk melalui interaksi dengan pelanggan .Tujuan kami dalam meningkatkan interaksi adalah untuk menjaga pelanggan tetap dan menambah pelanggan baru, terutama kaum muda," ujar Hu.
Baca juga: Kemenperin bangun wadah digital dukung bisnis industri fesyen

Efisiensi
Selain menyesuasikan strategi bisnis dengan perubahan kebiasaan belanja konsumen ke arah online, perusahaan China itu juga melakukan langkah efisiensi biaya produksi.

Gaogang Hu mengatakan bahwa beberapa perusahaan produsen pakaian di China berupaya menekan biaya produksi melalui sistem produksi yang lebih baik dengan memanfaatkan teknologi.

"Kami mengubah moda produksi kami menjadi lebih cepat dan efisien dengan menggunakan teknologi canggih, di mana kami bisa memproduksi lima barang dalam satu menit," ungkapnya.

Misalnya, Youngor menggunakan teknologi mesin laser pemotong untuk memotong-motong pola untuk bahan pakaian di pabriknya. Untuk memotong pola dengan menggunakan tenaga manusia bisa memakan waktu dua hari, tetapi dengan mesin laser pemotong hal itu dapat dilakukan hanya dalam beberapa menit.

Selain itu, dengan memakai mesin berteknologi canggih, perusahaan juga dapat menekan biaya produksi -- akibat terus meningkatnya upah tenaga kerja di China -- karena banyak mesin yang sudah diprogram untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya dilakukan pekerja.

Beberapa perusahaan China memang memilih untuk memanfaatkan teknologi canggih untuk kegiatan produksi barang yang lebih efisien, salah satunya perusahaan Ci Xing, yang menggunakan sekaligus membuat mesin-mesin rajut yang dikomputerisasi (computerized flat knitting machines).

Mesin rajut otomatis yang terkomputerisasi yang diproduksi dan digunakan oleh perusahaan China Ci Xing yang berbasis di Ningbo, Zhejiang, China. (ANTARA/Yuni Arisandy)

Mesin tersebut menggunakan program komputer untuk dapat berfungsi merajut benang-benang hingga menjadi satu pakaian utuh tanpa jahitan tepi.

"Jadi mesin yang kami produksi dan gunakan itu 'fully automation machine'. Mesin didesain untuk memproduksi pakaian langsung jadi utuh, tanpa harus melewati beberapa tahapan dengan mesin-mesin yang berbeda," ujar business receptionist Ci Xing, Zheng Yiqiu.
Baca juga: Label fesyen Lanvin dibeli pengusaha China
"Mesin dapat memproduksi bagian-bagian baju yang berbeda dalam satu waktu. Jadi, hanya membutuhkan waktu 1 menit 35 detik untuk memproduksi satu pakaian bahkan dengan warna-warna yang berbeda," lanjutnya.

Selain itu, menurut Zheng, perusahaannya juga membuat sekaligus menggunakan mesin yang dapat menyetrika dengan rapih pakaian yang akan dijual hanya dengan sekali semprotan uap.

"Jadi fungsinya seperti setrika uap sekali semprot tanpa harus memakai tenaga orang untuk menyetrika secara manual sehingga dapat mengurangi risiko kerusakan baju, seperti akibat benang tertarik dan jejak setrika panas yang dapat merusak bahan pakaian," jelasnya.

Berbagai upaya yang dilakukan beberapa perusahaan China dalam menjalankan bisnisnya itu menunjukkan bahwa dunia usaha harus dapat terus beradaptasi dan berinovasi untuk untuk dapat bertahan dan berhasil.

Baca juga: Ritel fesyen Forever 21 ajukan permohonan kepailitan
Baca juga: Alibaba capai 12 miliar dolar AS dalam satu jam pertama di 11.11

Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019