Jakarta (ANTARA) - Iklim investasi energi Indonesia buruk sehingga membuat penambahan cadangan minyak dalam enam tahun terakhir berkurang, kata Guru Besar ITB, Widjajono Partowidagdo."Mengundang investor sama seperti mengundang pelanggan untuk makan di rumah makan. Rumah makan hanya akan laku apabila makanannya enak, lingkungannya baik, harganya bersaing, dan pelayanannya baik, hal ini pun harus diterapkan pada sektor energi," kata Widjajono, di Jakarta, Kamis.Dia mengatakan, makanan enak dianalogikan dengan prospek yang menarik. Walaupun prospek Indonesia cukup menarik, tingginya risiko lingkungan di sini membuat perusahaan migas hanya berkonsentrasi pada mempertahankan produksi lapangan-lapangan yang sudah ada, yang membuat produksi menurun.Selanjutnya harga bersaing dapat dianalogikan dengan sistem fiskal yang menarik, ujar dia. Kontrak akan bermasalah apabila tidak dijiwai kemitraan atau pelayanan tidak baik."Apabila setiap kontrak harus mendapat persetujuan dari DPR maka itu dapat dianalogikan pelayanan yang rumit. Layaknya rumah makan yang mengharuskan pengunjung membawa surat nikah atau izin orang tua, dijamin investor akan berkurang," katanya. Ditambah dengan birokrasi yang rumit maka investor akan semakin takut menanamkan modalnya di Indonesia, ujar dia. Jadi apabila Undang-undang Migas direvisi maka sistem perpajakan migas harus dibuat "lex specialist". Menurut dia, hal tersebut sangat penting, karena untuk melakukan eksplorasi seharusnya tidak dikenakan bea masuk serta PPN dan PPh impor karena kegiatan itu belum tentu menghasilkan minyak. Lebih lanjut, dia mengatakan, lapangan-lapangan migas yang sudah ditemukan jika dalam kurun waktu tertentu tidak dikembangkan harus dikembalikan pada pemerintah. Dan jika kontrak habis pengelolaannya diserahkan perusahaan nasional dengan saham 55 persen. "Isu ketidakberesan `cost recovery`, LNG Tangguh, dan pembubaran BP Migas membuat bingung para investor," ujar dia. Widjajono juga mengatakan bahwa harga energi di Indonesia terlalu rendah, sehingga perlu dinaikan. Tetapi bukan berarti harga dilepas sesuai pasar karena itu pun tidak membantu. "Jangan terlalu rendah dan jangan terlalu tinggi. Jika terlalu rendah subsidi yang akan terjadi dan itu tidak sehat, rakyat miskin dapat kaya bukan dengan cara disubsidi," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008