Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejakgung) berpendapat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) boleh saja mengambil alih penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim, asalkan melalui mekanisme. "KPK boleh ambil BLBI, tapi harus mengikuti mekanismenya," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Jasman Pandjaitan, di Jakarta, Kamis. Mekanisme yang dimaksud menurut Jasman adalah KPK melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan Kejagung untuk mengundang gelar perkara. "Jadi, KPK tidak bisa main caplok, tapi harus melalui mekanismenya dahulu," katanya. Dikatakannya, surat perintah penghentian penyidikan (SP3)perkara BLBI Syamsul Nursalim berdasarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). "Karena itu, kita sudah banding atas putusan PN Jaksel atas gugatan praperadilan kasus debitor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim," katanya. Sebelumnya dilaporkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan bertemu dengan pimpinan Kejaksaan Agung untuk melakukan gelar perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Juru Bicara KPK, Johan Budi di Jakarta, Senin, mengatakan gelar perkara itu kemungkinan akan dilakukan setelah hari raya Idul Fitri 1429 H. "Kita akan bertukar pikiran tentang penanganan perkara BLBI," kata Johan. Johan menyatakan, penanganan kasus BLBI kini masih dalam proses, salah satunya ditandai dengan digulirkannya upaya banding yang diajukan oleh Kejaksaan Agung atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejaksaan Agung telah mengajukan banding atas putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Kejaksaan Agung untuk perkara obligor BLBI Sjamsul Nursalim tidak sah. Menurut Johan, KPK bisa melakukan supervisi terhadap Kejaksaan Agung, jika disepakati perkara BLBI ditangani oleh kejaksaan. Namun demikian, penanganan BLBI oleh Kejaksaan harus didahului pernyataan bahwa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara BLBI yang diterbitkan telah dicabut atau tidak berlaku. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008