Jakarta (ANTARA News) - Hambatan utama bagi munculnya capres independen bukan pada UUD 1945 melainkan pada UU No 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wapres (Pilpres) dan kehadiran capres-capres independen tergantung pada bagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu dikemukakan Ketua Pedoman Indonesia, Fadjroel Rachman, saat berbicara dalam acara dialog kenegaraan bertema "Capres Independen 2009, Mungkinkah" yang diselenggarakan DPD di Gedung DPD Jakarta, Rabu. Selain Fadjroel, juga tampil sebagai pembicara diantaranya mantan KSAL Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto dan mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zein, yang keduanya juga telah menyatakan minatnya sebagai capres di pilpres 2009. Menurut Fadjroel, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Pasangan capres dan wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu" bukan sebagai larangan bagi tampilnya capres perseorangan atau independen. "Pasal itu tidak dimaksudkan untuk menutup peluang capres yang tidak menempuh jalur parpol, yang telah mendapat hak konstitusionalnya untuk mengajukan capres sebelum pelaksanaan pemilu," ujarnya. Konstitusi justru menjamin hak-hak capres independen, diantaranya Pasal 27 ayat (1) Bab X tentang warganegara, Pasal 28 D ayat (1) dan (3) Bab XA tentang HAM. Sementara dalam UU No 23/2003 tentang pilpres tersirat bahwa satu-satunya mekanisme menjadi capres dan wapres adalah melalui usul parpol atau gabungan parpol. Karena itu , menurut Fadjroel, agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka MK perlu memutuskan bahwa beberapa pasal dalam UU Pilpres, khususnya Pasal 1 angka (6) dan Pasal 5 ayat (1), dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008