MRT Jakarta akan mengembangkan lima kawasan TOD secara tematik sesuai karakter serta kebutuhan masyarakat di kawasan tersebut.

Jakarta (ANTARA) - Sudah sembilan bulan ini, Kereta Ratangga Moda Raya Terpadu (MRT) membelah Kota Jakarta sejauh 16 kilometer dari Stasiun Bundaran HI hingga Stasiun Lebak Bulus dan sebaliknya.

Seiring itu pula, kereta yang terdiri dari 16 rangkaian kereta dan dua kereta cadangan itu membantu warga Ibu Kota dan sekitarnya berpindah dari tempat yang satu ke tempat lainnya secara efisien dan bebas macet.

Namun, tidak berhenti di situ PT MRT Jakarta masih perlu mengembangkan kawasan komersial serta kawasan berorientasi transit (Transit Oriented Development) yang sebagai kawasan terintegrasi, pusat kegiatan masyarakat dan berpotensi besar menyumbang pendapatan, bahkan lebih besar dari pendapatan tiket.

Untuk itu, MRT Jakarta akan mengembangkan lima kawasan TOD secara tematik sesuai karakter serta kebutuhan masyarakat di kawasan tersebut.

Direktur Keuangan dan Manajemen Korporasi MRT Jakarta Tuhiyat menyebutkan lima kawasan itu, di antaranya Kawasan Dukuh Atas dengan tema “Kolaborasi Gerak, Kawasan Istora-Senayan dengan tema “Beranda Pelita Indonesia”, Kawasan Blok M dengan tema “Kota Taman di Selatan Jakarta”, Kawasan Fatmawati dengan tema “Sub-Pusat Selatan Kota Jakarta yang Dinamis dan Progresif” dan Kawasan Lebak Bulus dengan tema “Gerbang Selatan Jakarta”.

Baca juga: MRT bayar listrik Rp12 miliar sebulan, jamin pelayanan tak terganggu

Tuhiyat menuturkan tema itu memiliki cerita masing-masing, yakni untuk Dukuh Atas sebagai kawasan TOD yang siap sebagai pusat pergerakan warga Jakarta dan di pusat kota, dekat Bundaran HI. Selain itu juga akan dibangun hunian vertikal yang jaraknya tidak lebih dari 700 meter ke arah Stasiun Kereta Bandara.

Sementara itu, untuk Kawasan Istora Senayan sebagai “Beranda Pelita Indonesia” karena sesuai fungsinya sebagai beranda, tempat biasanya orang-orang asing melihat Jakarta pertama kali, terlebih melalui berbagai ajang olahraga dan pusat bisnis.

Kemudian, Kawasan Blok M sebagai “Kota Taman di Jakarta Selatan” akan dijadikan pusat bacaan di mana taman-taman akan ditata sedemikian rupa, sehingga masyarakat bisa dengan nyaman membaca, termasuk akan dikembangkan taman bacaan digital.

Untuk Kawasan Fatmawati sebagai Sub Pusat Selatan Kota Jakarta yang Dinamis dan Progresif,” untuk menampung kota-kota di wilayah Selatan, seperti Cinere yang juga akan dibangun hunian vertikal.

Kawasan Lebak Bulus sebagai “Gerbang Selatan Jakarta” sebagai penyambung warga-warga di Tangerang Selatan untuk menuju wilayah Jakarta Kota, juga akan dibangun hunian vertikal.

Tuhiyat mengatakan saat ini pihaknya masih menunggu regulasi dari Pemprov DKI Jakarta, yakni Pergub 140 sebagai payung hukum pembangunan TOD tersebut serta Panduan Rancang Kota (PRK).

“Tujuan dari TOD ini adalah salah satunya agar terjadi ‘melting pot’ atau terhubungnya antara sesama transportasi publik, juga memudahkan mobilitas masyarakat karena semuanya terkoneksi," ujarnya.

Dia menambahkan jangka waktu proses pembangunan kawasan TOD itu adalah satu hingga lima tahun, tergantung dari pemilik lahan.

Kawasan terpadu Dukuh Atas yang akan pertama kali dibangun kawasan berorientasi transit (transit oriented developement) oleh PT MRT Jakarta. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)

Rancangan dan Potensi

MRT yang sudah ditunjuk sebagai master developer sesuai regulasi Pemprov DKI Jakarta akan mengembangkan TOD pertama di Dukuh Atas karena dinilai yang paling siap.

“Yang paling penting dengan PRK dan Pergub, kami bangun satu kawasan Dukuh Atas jadi pioneer kita. Kita awali dengan area Terowongan Kendal, kemudian secara paralel di kawasan Istora Senayang kawasan untuk TOD yang kedua karena ini pusat kota, juga melakukan integrasi ASEAN dan Blok M," katanya.

Selain itu, Dukuh Atas sudah terintegrasi antarmoda, mulai dari kereta rel listrik (KRL), Transjakarta, Kereta Bandara dan MRT,” katanya.

Pembangunan itu, di antaranya pengembangan kawasan yang padat, penyediaan rumah terjangkau, jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, optimasi lahan untuk fungsi perumahan dan transit, area tepian air sebagai ruang publik, interkoneksi transit, dan area transisi menuju KCB Menteng.

Dengan pembatasan ruang gerak kendaraan bermotor, diyakini bisa mendorong pertumbuhan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda serta penyediaan ruang terbuka hijau untuk meningkatkan perbaikan kualitas lingkungan.

Merancang TOD di kota Jakarta


Baca juga: Menyusul kartu perjalanan ganda, MRT kembangkan tiket QR Code

Rinciannya, yakni alih fungsi terowongan Jalan Kendal sebagai area pedestrian, penyediaan LayBay Transjakarta dan penataan angkutan daring, mendorong pelaku usaha retail bekeja sama dengan UMKM, mempercantik kawasan dengan penataan penerangan dan pengecatan mural serta ruang baca Jakarta ke arah perpustakaan digital atau “Digital Library”.

Potensi pendapatan dari lima kawasan TOD sendiri, yakni Rp242 triliun (16,8 miliar dolar AS) per tahun di mana potensi pendapatan dari parkir itu sendiri bisa mencapai Rp8,3 triliun dengan membuat 153.776 tempat parkir.

Selain itu, terdapat potensi 34.047 unit hunian terjangkau di kawasan sekitar MRT, penyerapan 639.380 tenaga kerja, 21 hektar area publik, 73,9 hektare taman dan ruang terbuka hijau, 149,1 kilometer area pejalan kaki, dan 56.854 meter persegi area sisi sungai.

Kawasan Integrasi Dukuh Atas yang sudah ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai ruang publik yang memberikan kenyamanan dalam perpindahan moda. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)

Dukungan Pemda

Pakar Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Bandung Sony Sulaksono Wibowo mengatakan pembangunan TOD akan maksimal apabila ada dukungan pemda terutama dalam penyediaan park and ride, penyesuaian tarif parkir lebih mahal untuk di sekitar stasiun serta kebijakan land capturing atau land value capture.

Terkait land-capturing, menurut dia, selama ini belum ada regulasi bahwa kenaikan ekonomis harga tanah di kawasan moda transportasi yang dibangun itu masuk ke operator.

“Jadi begini kawasan Sudirman waktu itu (sebelum MRT) sewanya katakanlah per bulan Rp100 begitu ada MRT, sewa semakin mahal Rp300. Pemilik lahan untung Rp200, seharusnya itu masuk ke pengelola MRT,” katanya.

Selain itu menurut dia, TOD yang berhasil adalah TOD yang menimbulkan ketergantungan dengan memaksimalkan ruang-ruang di stasiun menjadi ruang komersial yang dibutuhkan masyarakat, sehingga masyarakat tidak perlu keluar dari stasiun untuk membeli kebutuhan tersebut atau mereka hanya perlu ke stasiun untuk memenuhi kebutuhannya.

Tempat-tempat seperti mal, sekolah dan perumahan dibangun paling jauh 800 meter dari stasiun dan dibuat akses langsung.

Parkir sepeda tersedia di Stasiun Setiabudi Astra yang memudahkan masyarakat untuk bepergian dengan sepeda yang bisa mengurangi penggunaan kendaraan bermotor serta mengubah kebiasaan warga Jakarta. (ANTARA/ Juwita Trisna Rahayu)

“Ada ketergantungan sangat tinggi dari masyarakat dengan angkutan massal tersebut. Orang yang tinggal di daerah situ sangat tergantung, mungkin enggak perlu keluar stasiun semua kebutuhan sudah ada,” katanya.

Terlebih, bagi pemilik kendaraan yang rumahnya dekat dengan stasiun dikenakan pajak lebih tinggi, selain itu sedikitnya tempat parkir di kawasan TOD, efektif membuat orang untuk tidak mengendarai mobil pribadi dan memilih naik MRT.

Baca juga: MRT Jakarta, dari mengubah budaya hingga mimpi operator kelas dunia

Selain mengurangi kemacetan secara signifikan karena penurunan jumlah pengguna kendaraan pribadi, efek positif dari TOD adalah pendapatan dari nontiket bisa tumbuh dan bahkan melampaui pendapatan dari tiket.

“MRT tidak bisa mengandalkan 100 persen dari tiket, MRT Singapura saja penghasilan tiket dan tambahan dari iklan, gerai di stasiun baru menutupi 70-80 persen dari biaya operasional,” katanya.

Untuk kondisi MRT Jakarta, dia berpendapat, masih banyaknya lahan parkir, sehingga masih ada opsi bagi masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi, karena itu penyesuaian tarif parkir perlu dilakukan serta kebijakan Pemprov DKI lainnya agar masyarakat beralih dari menaiki kendaraan pribadi ke MRT.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019