Kepala Dinas Perdagangan Sumsel, Iwan Gunawan, Selasa, mengatakan penolakan Thailand tersebut harus disikapi positif untuk menjaga hubungan bilateral, namun tetap ditindaklanjuti dengan percepatan rencana hilirisasi agar produk ekspor kelapa lebih beragam.
"Sebenarnya kelapa yang ditolak Thailand itu kualitasnya masih bagus, hanya saja memang ada pengetatan regulasi di sana yang membuat kelapa tidak bisa diterima, kami sudah minta eksportir buat surat resmi ke Kementerian jika memang ingin ada pertemuan," ujar Iwan usai mengecek kelapa yang ditolak Thailand.
Baca juga: Eksportir rugi milyaran rupiah akibat Thailand tolak kelapa sumsel
Menurut dia tidak mungkin eksportir sengaja mengirim kelapa kualitas buruk, lamanya proses petik hingga tiba di Thailand selama sebulan juga menjadi sebab kualitas kelapa ada yang turun.
Apalagi proses pemetikan, pengupasan hingga sortir kelapa sebelum diekspor memakan waktu 2-3 minggu karena masih menggunakan mekanisme manual, kata dia, sehingga pengolahan ditingkat petani akan didorong agar lebih cepat.
Selain itu ia ingin merangkul akademisi dan dinas terkait untuk menemukan bibit kelapa yang bijinya lebih tahan lama untuk diekspor.
"Ke depan mungkin ada MoU antara Indonesia dan Thailand terkait toleransi produk ekspor kelapa Sumsel, karena kerentanan kondisi kelapa yang diekspor perlu dipertimbangkan," jelas Iwan.
Meski proporsi kelapa yang ditolak Thailand hanya satu persen dari total ekspor sumsel selama 2019, namun kejadian tersebut harus ditindaklanjuti serius karena menyangkut pendapatan para petani di Sumsel ke depan.
"Nanti kami upayakan ekspor kelapa dalam bentuk olahan agar nilai produknya bertambah, apalagi sebenarnya Sumsel sudah pernah mengekspor santan, nah kami ingin produk sejenis itu ditingkatkan produksinya sehingga ekspor kelapa Sumsel tidak dalam bentuk kelapa bulat semua," jelas Iwan.
Hilirisasi diyakini bisa menaikkan harga kelapa di Sumsel yang saat ini masih Rp2.000 di pengepul dan Rp1.800 ditingkat petani.
Baca juga: 5.500 ton minyak kelapa Sulawesi Utara diekspor ke Malaysia
Sementara Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel, Rudi Arpian, mengatakan para petani di Sumsel sudah seharusnya menggunakan mekanisme non-manual karena semakin banyak hasil pertanian kelapa yang harus diproses.
"Sumsel punya lahan pertanian kelapa 60.000 hektar, perhektarnya menghasilkan 5.000 butir kelapa pertiga bulan, semua itu masih dikupas dan sortir secara manual, wajar jika memakan waktu begitu lama," kata Rudi.
Pihaknya akan mengajukan anggaran untuk memulai mekanisasi non-manual di tingkat petani, mengingat saat ini Sumsel merupakan provinsi pengekspor kelapa terbesar di Indonesia.
Sedangkan terkait rencana pengolahan produk kelapa, ia mengakui Sumsel masih tertinggal di bidang hilirisasi kelapa dibandingkan penghasil kelapa lainnya seperti Provinsi Riau, itu juga yang membuat 75 persen hasil kelapa Sumsel lebih banyak di ekspor dan 25 persen konsumsi domestik.
Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019