Jayapura (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo ingin rebranding atau mengubah citra program keluarga berencana (KB) menjadi keluarga sehat dan sejahtera agar semakin dipahami dan diterima masyarakat.
"Kami konsepnya yang pembangunan keluarga dan keluarga berencana ini adalah kualitas keluarga yang akan kita capai sehingga keluarga berencana di sini jangan dipersepsikan hanya dengan kontrasepsi dan membatasi anak," kata Hasto kepada wartawan usai audiensi dengan pemerintah daerah Provinsi Papua, Papua, Senin.
Dalam diskusi Penguatan Komitmen Membangun Program Berkearifan Lokal Bersama Kepala BKKBN dengan tema "Keluarga Sehat Sejahtera di Provinsi Papua", Hasto juga menekankan pentingnya mengubah persepsi yang salah di tengah masyarakat mengenai keluarga berencana.
Sebagian masyarakat masih menganggap keluarga berencana dengan citra "kontrasepsi" yang hanya sebagai upaya membatasi jumlah sehingga berlawanan dengan kearifan lokal di suatu daerah.
Padahal, esensi yang sebenarnya, kata Hasto, bukan tentang "kontrasepsi" melainkan upaya meningkatkan kualitas keluarga dan menjaga kesehatan ibu dan anak, salah satunya dengan menjaga jarak lahir antara anak satu dengan anak lain.
"Kami ingin meningkatkan kualitas, jarak anak itu penting minimal tiga tahun maksimal lima tahun. Justru orang ingin punya anak itu tidak boleh jarang-jarang juga, kalau lebih dati lima tahun prosesnya tambah sulit lagi gitu," tutur mantan Bupati Kulon Progo itu.
Dengan pengaturan jarak lahir anak, maka dapat menyiapkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah-daerah termasuk Papua lebih unggul.
Dia mengatakan jika mengharuskan istilah keluarga berencana di Papua dikembangkan menjadi citra yang lain seperti keluarga sehat sejahtera, maka itu bisa saja dilakukan untuk diubah menjadi lebih positif sehingga konotasi di sebagian benak masyarakat bahwa KB melarang orang mempunyai anak atau membatasi anak itu bisa dihilangkan.
Hasto memahami situasi sedikit berbeda di Papua dibanding di wilayah lain seperti di Jawa yang padat penduduk sehingga KB bisa diterima dengan program dua anak cukup, namun dengan mempertimbangkan kondisi di Papua yang tanahnya luas namun penduduknya sedikit, maka pendekatan KB bisa berbeda dan tidak hanya berpatokan pada program dua anak di satu kepala keluarga.
Untuk itu, BKKBN mengadakan diskusi terarah agar mendapat masukan dari tokoh adat, tokoh masyarakat dan forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) di Papua tentang pola baru kebijakan pembangunan terkait KB.
"Kalau istilah KB mau diganti pun saya ingin mendapat masukan. Kalau di sini pertimbangan Sekretaris Daerahdan Forkopimda kalau istilah keluarga berencana kurang diterima masyarakat, ya bisa kita ganti," tutur Hasto.
Hasto menuturkan BKKBN akan terus mengembangkan kampung KB. Pihaknya ingin menghapus persepsi bahwa kampung KB adalah kampung kontrasepsi
"Kampung KB itu kampung yang sehat dan sejahtera itu yang pentingnya di situ. Justru arahan Pak Jokowi, Kampung KB ini kan dibangun dari kampung-kampung yang terisolir, 'remote area', daerah yang sulit dijangkau itu jadikanlah kampung KB bukan kontrasepsi, jadi dia merencanakan keluarganya dengan baik," tuturnya.
Dalam pengembangan dan implementasi program kampung KB ke depan, pihaknya ingin mambangun konsep-konsep baru yakni keluarga sehat, keluarga sejahtera dan keluarga bahagia, yang mana dulu masih terkonsentrasi pada keluarga sejahtera.
"Saya ingin membuat rebranding di tingkat pusat, di tingkat daerah pun akan melakukan rebranding sehingga kami ingin mengerti apa yang paling cocok untuk masyarakat di Papua," ujarnya. ***3***
Baca juga: Jarak kehamilan terlalu dekat bisa sebabkan anak kleptomania-sombong
Baca juga: Kepala BKKBN: Al Quran anjurkan jarak kehamilan 30 bulan
Baca juga: Kepala BKKBN sosialisasi kesehatan reproduksi bareng pengajian Cak Nun
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019