Jakarta, (ANTARA News) - Satu-persatu penumpang, termasuk sejumlah wanita dewasa berjilbab, masuk ke pesawat Boeing Silk Air dari Bandara Changi, Singapura. Pesawat itu bukan hendak ke Timur Tengah atau negeri Muslim lain, tapi Yangon, Myanmar.
Seorang teman dari Jakarta yang transit di bandara itu akhir pekan lalu tak menyangka cukup banyak penumpang berjilbab beserta suami atau keluarganya berada dalam satu pesawat yang sama.
Di antara mereka tampaknya baru pulang melaksanakan umroh. Sepertinya teman itu masih bertanya-tanya apakah wanita berjilbab dan keluarganya itu warga negara Myanmar.
Setelah terbang lebih dua jam, pesawat pun mendarat mulus menjelang pukul 17.00 waktu setempat di Bandara Internasional Yangon yang sangat sederhana.
Di sana, teman itu pun menemukan sejumlah penjemput wanita berjilbab beserta keluarganya. Dari cara berpakaian dan ciri-ciri lainnya jelas bahwa mereka muslim dan berbicara dengan bahasa setempat, bukan bahasa Melayu, Arab ataupun Inggris.
"Saya tak menyangka cukup banyak juga muslim di sini," katanya seolah-olah baru mendapat jawaban dari apa yang ia lihat seraya menambahkan, "Sebelumnya saya berfikir sangat sedikit sekali jumlah muslimnya di Myanmar."
Karena waktu maghrib segera tiba, rombongan kecil wartawan dari Jakarta itu bergegas pergi mencari masjid terdekat di pusat kota setelah beberapa menit mendaftar di sebuah hotel berbintang dan melaporkan kedatangan mereka ke panitia dari Sekretariat ASEAN.
Sekretariat ASEAN mengundang rombongan itu dan sejumlah wartawan ASEAN untuk meliput acara terkait dengan proyek percontohan pemulihan bagi korban Topan Nargis yang melanda Myanmar awal Mei lalu. Lebih 100.000 orang dan ribuan lagi hilang dalam bencana terbesar dalam sejarah negara itu.
Data dari SEAN-JAPAN Statistical Pocketbook 2007 dan Asian Development Outlook 2007 menyebutkan Myanmar berpenduduk 56,51 juta jiwa pada tahun 2006 dan mayoritas penduduknya beragama Buddha.
Di antara penduduk negara berjuluk negara "seribu pagoda itu" pemeluk Islamnya sebanyak 15-25 persen dan mereka merupakan keturunan Arab, Persia, Turki, Moors, India-Muslim, Pakistan, Pathan, Bengali, China-Muslim, dan Melayu. Tapi, berdasarkan sensus pemerintah Myanmar jumlah umat Islam mencapai 4 persen.
Kaum Muslim tiba di Myanmar (dulu Burma) sebagai pengelana, pelaut, pedagang, personil militer atau sukarelawan dan tawanan perang.
Sejumlah nama tokoh Muslim Myanmar dapat ditemukan di Wikipedia seperti U Razak, Ko Mya Aye, U Kyaw Min, Shwe Taung Thargathu, Mohamed Kassim, Saya Gyi U Nu, U Shwe Yoe aka U Ba Ga Lay, Colonel Ba Shin, U Raschid, U Khin Maung Latt, Kyar Ba Nyein dan anggota keluarganya, Daw Win Mya Mya, Maung Thaw Ka, dan masih banyak lagi.
Pada 1892 kaum Muslim dari India mendirikan Masjid Bengali Sunni Jameh atau Masjid Dallah yang berada jalan Pagoda Sule di pusat kota Yangon, ibukota Myanmar. Masjid yang berada di tepi jalan dan berseberangan dengan sebuah pagoda ini mengalami pemugaran beberapa kali pada tahun 1902, 1992 dan 2002.
Selain mesjid itu, masih ada lebih 100 masjid besar di Yangon atau daerah sekitarnya seperti masjid Surtee in jalan Shwe Bontha, Masjid Jami Rakine di jalan ke-130 di Mingalar, Kotapraja Townyunt, Masjid Arkati di jalan Bo Aung Kyaw di Kotapraja Botataung dan Masjid Cholia jalan Maha Bandoola.
Saat rombongan kecil dari Jakarta itu tiba di Masjid Dallah, tampak ratusan warga setempat yang sebagian besar keturunan India sudah duduk bersila di dalam masjid itu menanti saat berbuka puasa, sementara di luar lalu lintas terlihat ramai dan penduduk setempat lalu-lalang atau duduk di tepi jalan menikmati penganan di warung-warung tepi jalan.
"Silakan minum dan makan," kata seorang jamaah masjid ketika azan sholat Maghrib berkumandang mengajak tamunya.
Minuman berupa jus buah dan sirup di dalam gelas, bubur gandum di mangkuk dan satu nampan makanan yang terdiri atas kwetiau, jagung dan potongan kecil daging dan lalapan sudah tersaji di atas hamparan kain panjang berwarna hijau.
Hidangan tersebut berasal dari jamaah yang menjadi penyumbang makanan dan minuman untuk berbuka puasa selama bulan suci Ramadhan.
Sekitar 10 menit kemudian acara berbuka puasa selesai dan dilanjutkan dengan sholat Maghrib berjamaah. Tak terdengar ucapan amin dari jamaah ketika imam menutup bacaan surat Al-Fatihah.
"Beberapa waktu lalu Utusan Khusus PBB Ibrahim Gambari mendirikan sholat di masjid ini," ujar seorang jamaah seusai sholat.
Dalam kunjungannya itu Gambari berniat bertemu dengan pemimpin gerakan demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi, peraih hadiah Nobel Perdamaian, yang berada dalam tahanan rumah. Tapi maksud Utusan PBB itu tak terwujud karena tak ada respon dari pihak Suu Kyi.
Beberapa jamaah yang sudah lanjut usia yang merupakan generasi kedua pendatang mengatakan di lingkungan masjid-masjid ada madrasah untuk anak-anak belajar memperdalam agama Islam.
Selain berpuasa wajib dalam bulan suci Ramadhan, kaum muslim dianjurkan menambah waktu untuk beribadah kepada Allah SWT antara lain membaca dan mempelajari Alquran, sholat tarawih dan itikaf. Itikaf adalah berdiam diri di masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan hukumnya sunnah terutama di atas tanggal 20 Ramadhan.
"Untuk itikaf kami harus melapor ke pengurus masjid dan harus meminta izin pihak berwajib," kata Yusuf, seorang jamaah.
Para wartawan yang mendengar pernyataan tentang ketentuan tentang itikaf itu sempat terkejut tetapi kemudian mereka faham bahwa hal ini terjadi di Myanmar yang berada di bawah junta militer dengan mata-matanya yang tersebar di mana-mana: bisa di tempat keramaian, tempat-tempat ibadah tak terkecuali di masjid. (*)
Oleh Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008