La Paz (ANTARA) - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Sabtu (16/11) memperingatkan bahwa kekerasan di Bolivia bisa berlanjut tak terkendali setelah bentrokan terus terjadi antara pasukan keamanan dan para petani koka yang setia kepada presiden terguling, Evo Morales.

Rangkaian bentrokan antara kedua pihak itu telah menewaskan sembilan orang.

Baca juga: Mantan Presiden Morales minta PBB tengahi krisis Bolivia

Morales mengundurkan diri pada Minggu (10/11) di tengah tekanan dari kepolisian dan militer Bolivia setelah ada bukti kecurangan dalam penghitungan suara, yang mencemari kemenangannya dalam pemilihan presiden pada 20 Oktober.

Dua hari setelah mundur sebagai presiden, Morales terbang meninggalkan negaranya ke Meksiko.

Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet memperingatkan bahwa kekerasan yang meningkat bisa merongrong proses demokratik.

Baca juga: Putin peringatkan Bolivia di ambang kekacauan

"Saya khawatir bahwa situasi di Bolivia bisa bergerak menjadi tak terkendali kalau pihak berwenang tidak menanganinya.... dengan menghormati secara penuh hak asasi manusia," kata Bachelet dalam pernyataan.

Kekerasan di Bolivia menambah kasus kerusuhan di kawasan itu, termasuk di negara tetangganya, Chile.

Di Chile, gelombang protes menyangkut kesenjangan sosial sudah mendidih menjadi kerusuhan hingga menewaskan sedikitnya 20 orang.

Ekuador, Venezuela dan Argentina juga telah mengalami serangkaian pemogokan, protes, dan kerusuhan dalam bulan-bulan terakhir ini.

Menurut ombudsman Kota Cochabamba, Bolivia, lebih dari 100 orang meninggal dalam bentrokan.

Baca juga: Kepala Senat Bolivia jadi presiden sementara

Para petani koka dalam beberapa aksi protes juga melengkapi diri dengan senjata berat, kata kepolisian.

Menurut kepolisian, mereka membawa berbagai macam senjata, dari pistol, granat hingga bazoka rakitan.

Utusan PBB Jean Arnault mengatakan sebuah tim mulai akan melakukan pembicaraan dengan para politisi dan kelompok-kelompok sosial untuk berupaya mengakhiri kekerasan serta mendorong penyelenggaraan "pemilihan yang bebas dan transparan."

Sumber: Reuters

Penerjemah: Tia Mutiasari
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019