Denpasar (ANTARA News) - Lolosnya motif tradisional Bali yang dihakciptakan oleh pihak asing di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Republik Indonesia disayangkan berbagai golongan masyarakat di Bali.
Proses untuk mendapatkan HAKI tersebut diantaranya dipertanyakan agamawan Hindu Bali, Ketut Wiana, di Denpasar, Sabtu.
"Sistem dalam HAKI ini perlu dibenahi. Banyak budaya bangsa yang sifatnya hak kolektif, bukan perorangan. Karena itu apabila HAKI terdaftar secara perorangan, maka tidak sesuai dengan sifat kemasyarakatan di Indonesia," katanya.
Wiana juga menegaskan sistem hak paten sebaiknya diubah dengan menggunakan sistem kolektif. Ia juga meminta pemerintah dan masyarakat kritis dan tanggap terhadap permasalahan hak paten. Pihak Ditjen HAKI juga dinilai harus tanggap dan tidak begitu saja memberikan sertifikasi.
"Bila tidak ada penelitian dan konfirmasi ke ahli atau masyarakat yang bersangkutan, maka bisa hancur Bali. Semua bentuk seni dapat dicuri orang luar," katanya.
Hal itu disampaikan menanggapi aksi masyarakat perajin perak yang menuntut pemerintah segera bertindak atas hilangnya hak cipta 800 motif perak tradisional Bali yang telah dipatenkan pihak asing.
Sekitar 100 perajin perak bertemu dengan perwakilan anggota DPRD Bali di gedung wakil rakyat tersebut di Denpasar, Jumat (12/9).
Masyarakat perajin perak Bali meminta pemerintah untuk segera bertindak memperjuangkan hak-hak perajin perak di Bali.
Hak paten motif perak yang dimiliki pihak asing membuat resah para perajin. Kini para perajin ketakutan dalam berkarya karena selalu dibayangi tuntutan hukum.
Wiana mengingatkan apabila sistem HAKI tetap seperti sekarang, dan tidak ada perlindungan dari pemerintah, maka budaya dan etos kerja di Bali akan ikut rusak bahkan hilang.
Etos kerja seniman di Bali menurut Wiana, berdasarkan pada hasil karya bukan pada siapa yang membuat.
"Di kita, seniman tidak pernah mau menonjolkan diri. Budaya ini berbeda dengan di Barat. Sekarang dengan sistem HAKI di Indonesia, sama saja dengan menekan seniman," kata Wiana.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008