Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha berharap komite menentukan kualifikasi data sekaligus mengawasi penempatan data di luar negeri.

"Karena tanpa kualifikasi yang jelas, nantinya data negara yang penting dan rahasia bisa saja ditaruh di luar negeri. Hal itu tentu berbahaya," kata Pratama Persadha, Jumat malam.

Di sela acaranya di Bali, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC ini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang mengenai pembentukan komite, sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Pratama menilai kelahiran PP No. 71/2019 terlampau cepat atau mendahului Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Padahal undang-undang ini bertugas menjamin kelangsungan data sovereignty (kedaulatan) di dalam dan luar negeri.

"Masih belum banyak yang menyadari bahwa data kini lebih berharga dari minyak dan tanah. Bila pada tahun 1990-an ramai istilah land bank, kini pada era digital ramai data bank yang menjadikan perang big data antarnegara dan antarkorporasi," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.

Ia mengutarakan bahwa kebutuhan akan data yang tinggi dan kerja sama ekonomi digital menuntut pemanfaatan data yang lebih luas. Kendati demikian, perlu memperhatikan keamanan data itu sendiri.

Menurut Pratama, data seharusnya di lokalisasi di dalam negeri. Akan tetapi, kalaupun terpaksa tidak bisa, butuh pengamanan lebih terhadap data yang disimpan di luar negeri, salah satunya mengklasifikasi tingkat kerahasiaan data.

Lokalisasi data, kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi UGM Yogyakarta, nantinya menunggu kualifikasi data mana yang tidak boleh ditempatkan di luar negeri.

Terkait dengan penempatan data di pusat data luar negeri, menurut dia, paling tidak ada empat lembaga yang mesti dilibatkan, yaitu Kemenkominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sifatnya fleksibel, lembaga lain sesuai dengan kebutuhannya bisa diikutsertakan.

"Contoh dalam kasus Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), teknologi kita belum memiliki satelit dan mesin pengolah data sehingga harus menggunakan pusat data di luar Tanah Air," kata Pratama.

Kebutuhan-kebutuhan semacam ini, lanjut dia, harus diidentifikasi dan menjadi perhatian serius negara agar ke depan ada keberpihakan untuk membangun infrastruktur siber yang menunjang segala sektor.

Pada era digital saat ini, kata Pratama, data mempunyai tiga bentuk, yaitu economic sharing, intellectual sharing, dan trust sharing. Ketiganya diharapkan menjadi bumper utama dalam ekonomi digital tanah air. Dengan demikian, ketakutan bubble unicorn tidak terjadi.

Pratama menjelaskan bahwa economic sharing dari data memungkinkan unicorn dan startup tanah air berkiprah lebih jauh ke luar negeri. Namun, sayangnya Indonesia belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi.

"Yang itu menjadi salah satu ekstra territorial law saat data dibebaskan untuk ditaruh di luar Indonesia," kata Pratama yang pernah sebagai Wakil Ketua Tim Lemsaneg (sekarang BSSN) Pengamanan Pesawat Kepresidenan RI.

Baca juga: Asosiasi pusat data akan temui Menkominfo bahas transaksi elektronik

Baca juga: Asosiasi perusahaan digital minta pemerintah tinjau revisi PP PSTE

Baca juga: FTII soroti perlindungan data publik dalam revisi PP 82/2012

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019