Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menangani kasus pengemplangan royalty dan pajak batubara yang diduga merugikan negara Rp7 triliun.Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin di Jakarta, Kamis, menyatakan, KPK kini tengah melakukan pengumpulkan data dan informasi terkait kasus itu."Kami lebih senang lagi kalau ada laporan dari masyarakat tentang kasus tersebut," kata Jasin. Dikatakannya, untuk melakukan penindakan, KPK harus menunggu aduan dari masyarakat atau menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dijadwalkan selesai 24 Oktober mendatang. KPK akan mempelajari peraturan yang ada di balik kewajiban pungutan royalty bagi perusahaan batubara tersebut. "Kewajiban pungutan itu sejak 2001. Mengapa tidak dipungut? Akan kita telusuri pejabat mana yang lalai. Itu pintu masuk KPK," katanya Dari pintu pejabat negara itulah, kata Jasin, KPK baru bisa masuk ke pihak-pihak swasta yang diduga merugikan keuangan negara. "Contoh kasus Pelalawan, dari bupatinya bisa terungkap pihak swasta yang juga terlibat. Tapi sesuai pasal 11 UU KPK, kami harus mengejar dulu penyelengaranegara," katanya. Kasus royalti batubara mencuat setelah Kementerian ESDM pada 6 Agustus 2008 mengumumkan adanya tunggakan pembayaran dana hasil penjualan batubara (DHPB) atau royalti oleh enam perusahaan sejak 2001 hingga 2007 senilai Rp7 triliun. Keenam perusahaan itu adalah PT Adaro Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT BHP Kendilo Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Berau Coal, dan PT Arutmin Indonesia.(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008