Jakarta (ANTARA News) - Inilah cerita tentang kota Istanbul, Turki, di bulan Ramadhan. Di sepanjang jalan kawasan Kodikoy Carsi, banyak sekali restoran dan cafe bernuansa perpaduan Eropa dan Asia. Orang berlalu-lalang dengan macam ragam penampilan. Ada wanita cantik berpakaian seronok berjalan glendotan dengan lelaki berkaos oblong dan bercelana jeans belel. Ada yang anggun berjilbab beriringan dengan pria berjanggut berbaju gamis. Turis-turis asing juga hilir mudik di sana. Menjelang adzan maghrib, inilah yang hanya terjadi di Turki: Muslim yang berbuka puasa harus berbaur dengan kelompok sekuler di restoran kawasan Kodikoy Carsi. Restoran yang menyediakan iftar (hidangan buka puasa) juga menyajikan bir, anggur dan minuman keras lainnya. Yang buka puasa di meja kiri, yang minum bir di meja kanan. "Inilah keunikan negeri kami," kata Erhan Takepe, warga Turki yang menjadi staf lokal KBRI Ankara. Ini menarik karena di Turki, seperti dikemukakan wartawan Turkish Daily News Mustafa Akyol, iftar dan minuman keras mewakili dua hal yang berbeda 180 derajat, bahkan mendorong terjadinya konflik budaya. Muslim Turki yang taat menganggap alkohol haram, bukan hanya meminumnya, tapi sekedar menggunakan minyak wangi beralkohol juga dijauhi. Tapi, warga Turki lain yang sekuler, menganggap minum minuman keras, termasuk di bulan Ramadhan, adalah hal yang lumrah saja. Hanya sedikit yang berhenti minum-minum untuk menghormati warga yang puasa. Dari 70 juta jiwa penduduk Turki, mayoritas beragama Islam, meskipun sebagian hanya "Islam KTP". Menurut Mustafa Akyol, sebanyak 60 persen dari total populasi Muslim Turki menjalankan puasa. Artinya, 40 persen lainnya bebas makan minum di bulan Ramadhan. Yang berpuasa dan tidak berpuasa bisa jalan beriringan. Inilah hebatnya atau anehnya Turki. Kalau di Indonesia, orang makan minum di jalan waktu Ramadhan pasti sudah ditonjok, paling tidak ditegur. "Di Turki, yang berpuasa dan yang tidak puasa, saling tidak peduli," kata Erhan yang sudah hampir 15 tahun bekerja di KBRI.Tak ada pembatasNecmi Oscan, pelayan restoran Kofte & Balikevi, mengatakan pihaknya selain menyajikan iftar bagi yang puasa, juga menjual minuman keras dari mulai bir, anggur, sampai vodka. Pengunjung restoran bisa duduk dimana saja mereka suka. Tidak ada pembatasan ruangan untuk yang Muslim dan yang sekuler."Di Turki tidak ada masalah. Yang puasa silahkan berbuka, sementara temannya menenggak bir. Mereka duduk di meja yang sama. Tidak peduli, semua senang. Ini Turki kawan, bukan Indonesia," kata Oscan.Turki sampai saat ini masih sangat kuat memegang sekularisme. Terhitung, sejak ambruknya Khilafah Islamiyah Turki tahun 1924, negeri itu menjadi simbol sekulerisme dipelopori pendiri Turki sekuler, Mushtafa Kamal Ataturk. Di negeri itu, masalah agama dipisahkan dari masalah kenegaraan dan kemasyarakatan. Agama menjadi wilayah pribadi sehingga tidak penting bagi negara dan pemerintah mengurusi pelaksanaan ibadah puasa atau haji. Oleh karena itu di Istanbul, misalnya, tidak pernah ada aturan dari kantor walikota untuk menutup tempat hiburan atau melarang penjualan minuman keras selama Ramadhan. Tidak pula ada kelompok massa yang merusak bar, pub, karaoke, panti pijat, atau diskotik. Akan tetapi tidak ada pula yang meramaikan bulan suci secara berlebihan dengan spanduk-spanduk "Marhaban Ya Ramadhan", televisi-televisi yang hingar bingar dengan acara bernuansa Ramadhan atau orang-orang di kampung yang membangunkan sahur dengan menabuh beduk, kentongan atau tiang listrik. Itulah suasana bulan ramadhan di Istanbul, Turki. Apa yang terjadi di kawasan Kadikoy Carsi mungkin bisa menunjukkan prototipe Turki sekarang ini. Seperti dikemukakan Adnan Oktar, cendikiawan Muslim yang di dunia lebih dikenal dengan nama pena Harun Yahya, Turki kini berada di persimpangan jalan. Apakah negeri itu akan kembali meraih kejayaan Ottoman Empire di masa lalu atau melesat menjadi bangsa Barat yang bebas di masa depan. "Islam kembali bangkit di Turki, dan negeri ini siap mendorong renaissance Muslim di Eropa," katanya.Sangat khawatir Bagi kaum sekularis, mereka makin banyak melihat wanita-wanita berjilbab di tempat umum. Mereka menjadi sangat khawatir Turki akan menjadi Iran atau Arab Saudi. Sebaliknya, kaum Muslim konservatif, terus-menerus mengeluh adanya erosi moral dan nilai-nilai keluarga serta berkembangnya budaya hedonisme di masyarakat Turki. Mustafa Akyol melihat Turki sekarang berada di tengah-tengah. Negeri itu belum seperti Teheran, bukan pula seperti Amsterdam. Turki kini menjadi, meminjam istilah kolumnis Haluk Sahim, sebuah "strangeland". Negeri yang unik dan aneh, negeri yang bukan ini dan bukan itu. Yang jelas, Turki masa kini adalah sebuah negeri yang memiliki masyarakat heterogen dan penuh warna, yang mengalami kehidupan bersama (Islam, Nasrani, Yahudi) secara damai selama 500 tahun. Kodikoy Carsi merupakan miniatur Turki dimana terdapat kehidupan damai antarwarga yang berbeda serta berlainan agama. Hanya di Kodikoy Carsi, santri dan abangan bisa berdampingan. Hanya di Kodikoy Carsi yang beriman dan pendosa, fundamentalis dan sekularis, bisa bersenda gurau. Karena hanya di Kodikoy Carsi di masa Ramadhan ini, orang bisa buka puasa dengan khidmat tanpa terganggu dengan pendosa yang menenggak minuman keras. Iftar di kiri, bir di kanan, tidaklah menjadi masalah. Ini Turki, bung!(*)

Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008