Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengumpulkan berbagai bukti mengenai dugaan pelanggaran HAM dalam kasus perusakan Gedung Persatuan Geraja Indonesia (PGI)/Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di Salemba Jakarta Pusat pada 27 Agustus 2008. "Kami belum melakukan apa-apa. GMKI sendiri sudah menempuh jalur hukum," kata Anggota Komnas HAM, Joni Nelson Simanjuntak, dalam diskusi mengenai penyerangan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) ke Gedung PGI/GMKI di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Damai Sejahtera (DPP PDS) di Jakarta, Kamis. Nelson menjelaskan, Komnas HAM tidak ingin masuk ke substansi persoalan antara GMKI dengan Satpol PP yang menyebabkan timbulnya tindak kekerasan. "Kami hanya masuk ke persoalan pelanggaran HAM," katanya. Nelson menegaskan, sejak awal Komnas telah mengingatkan Pemerintah DKI Jakarta dan Mendagri terkait Perda Ketertiban Umum (Tibum). Bahkan Komnas HAM telah menyampaikan memori agar Perda Tibum disinkronkan dengan prinsip-prinsip HAM. Komnas HAM juga menyoroti keberadaan Satpol PP yang identik dengan tindakan kekerasan dalam melakukan penertiban. Publik juga memahami apabila suatu lokasi akan ditertibkan, maka sudah hampir pasti terjadi bentrokan antara Satpol PP dengan masyarakat. "Ini kita minta perhatian apakah harus dengan kekerasan. Apakah dengan menonjolkan kekerasan itu satpol PP sudah bisa dianggap melampaui kewenangannya?," kata Nelson. Wakil Ketua Umum DPP PDS Denny Tewu mengemukakan, pihaknya akan mendorong anggota fraksinya di DPRD DKI Jakarta untuk menyampaikan nota protes kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke). "Dalam kampanye Foke menjanjikan tidak akan melakukan tindakan represif kepada kelompok-kelompok masyarakat. Kami akan tagih komitmennya itu," katanya. Denny mengemukakan, bukan hanya PDS yang akan menagih komitmen Foke, tetapi Parpol pendukung lainnya juga akan mempertanyakan. Rapen Sinaga dari GMKI mengemukakan, eksekusi yang mengerahkan Satpol PP tidak memiliki landasan hukum karena sengketa lahan masih dalam proses hukum. "Kami sedang mengajukan banding," katanya. Dia menduga ada motif bisnis dibalik gugatan hukum yang kemudian menggunakan Satpol PP untuk melakukan eksekusi terhadap lahan tersebut. Kuasa hukum GMKI Nikson Gultom mengungkapkan pula mengenai adanya motif bisnis di balik kasus ini. Lahan yang ditempati Gedung PGI/GMKI didaftarkan di Notaris Pondaag tahun 1961. Tanah ini milik Himpunan Sekolah-sekolah Kristen (HSK) tidak boleh diperjualbelikan. Tetapi diakuinya ada oknum pengurus HSK yang diam-diam memperjualbelikan lahan kemudian pengurus membubarkan. Lahan yang dijual itu, kini telah didirikan Gedung YAI. "GMI menempati lahan tidak gratis. Tahun 1950-an kami memperoleh dana 10 ribu dolar AS untuk bisa menempati lahan ini," katanya. Saat ini, pihaknya mengajukan banding. Karena itu, dari segi hukum, lahan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap. "Lahan harus status quo. Tetapi mengapa ada upaya eksekusi," katanya. Dia mengemukakan, tindakan Satpol PP yang mengeksekusi lahan masih dalam sengketa menunjukkan arogansi. "Satpol PP lebih tunduk kepada kapitalisme dibanding tunduk kepada hukum," katanya. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008