Karawang (ANTARA News) - Para tenaga kerja Indonesia (TKI) dan keluarganya berkeluh kesah kepada pemerintah mengenai persoalan yang menyangkut nasib dan perlindungan terhadap mereka.
Mereka menyampaikan keluh kesah itu saat dalam silaturahmi bersama Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat di Balai Desa Rawagempol Wetan, Kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang, Rabu.
"Saya datang ke sini memang ingin mendengar langsung persoalan menyangkut TKI," kata Jumhur mengawali silaturahmi dalam rangkaian Safari Ramadhan keliling Jawa, 9-19 September 2008.
Mereka menyampaikan beragam keluh kesah, mulai dari pungutan yang besar bagi para calon TKI yang ingin ke luar negeri, percaloan, tak ada perlindungan TKI, hingga keluarga yang kehilangan anaknya yang bekerja di luar negeri tak mau pulang dan tak mengirim uang.
Bahkan Masduhin yang pernah bekerja di Brunei Darussalam pada 2006 mengimbau calon TKI mengurungkan niat bekerja di luar negeri karena berdasarkan pengalamannya pernah menjadi korban dan tak mendapat perlindungan dari pemerintah melalui kedutaan.
"Lebih baik hujan batu di negeri ini daripada hujan emas di negeri orang," katanya mengutip peribahasa.
Sementara Ahmad Sarif mengaku sampai tua batal mewujudkan niatnya bekerja di AS karena harus membayar biaya hingga Rp20 juta untuk bisa berangkat.
Upayanya meminjam ke bank dengan surat jaminan juga gagal karena bank hanya mau memberi pinjaman untuk sektor riil sedangkan meminjam dari rentenir amat berisiko
"Saya harus cari ke mana? Sampai tua begini saya tak ke luar negeri untuk mengubah nasib," katanya.
Sedangkan Jajat Sudrajat menggugat diskriminasi bahwa calon TKI wanita bisa gratis sedangkan pria harus membayar dalam mengurus keberangkatan.
Sementara seorang ibu bernama Rahmasari merasa "kehilangan" anaknya yang tidak pernah mengirimkan berita dari tempatnya bekerja di Kuwait padahal telah bekerja di negeri itu selama enam tahun.
Seorang ibu lain juga merindukan anaknya yang bekerja di Madinah, Arab Saudi tidak mau pulang setelah bekerja tiga tahun dan pernah kabur dari majikannya.
"Anak saya takut pada Konjen RI karena pernah kabur dari majikan. Ia kabur karena kesal disuruh tanda tangan gaji tetapi uangnya tidak ada, majikannya sering marah dan pernah memberi hanya 1.000 Real. Kapan TKI yang kabur akan dipulangkan?" tanyanya.
Seorang ibu yang kehilangan anaknya, Marsih, karena meninggal dunia di Arab Saudi juga mempertanyakan soal asuransi yang hanya ia terima sebesar Rp13 juta padahal sesuai ketentuan bisa menerima Rp40 juta.
Terhadap keluh kesah itu, Jumhur minta stafnya untuk mencatat nama TKI yang tak mau pulang itu untuk dihubungi.
Ia mengakui ada TKI yang memiliki kemampuan bekerja di luar negeri tetapi terbentur masalah pembiayaan.
Oleh karena itu ia berencana mengadakan pertemuan antara perusahaan penyalur tenaga kerja di negara tujuan dan perusahaan penyalur tenaga kerja di dalam negeri untuk membahas soal pembiayaan TKI tersebut.
Sementara pada bulan Oktober mendatang Jumhur akan melawat ke Taiwan untuk berbicara dengan pemerintah negara itu agar perusahaan di Taiwan yang membutuhkan tenaga kerja tidak menghubungi calo.
"Di Taiwan perusahaan menghubungi calo untuk mendapat tenaga kerja. Calo lalu menjual pesanan pekerjaan (job order) itu sehingga berlanjut perusahaan penyalur di sini memungut biaya kepada calon TKI. Ini kan masalah," kata Jumhur.
Ia berharap ke depan perusahaan di Taiwan menghubungi pemerintah, bukan calo, di negara itu untuk mencari tenaga kerja dan pemerintah Taiwan bisa menghubungi pemerintah Indonesia.
Jumhur juga mengatakan kalau wanita bekerja di sektor rumah tangga ada semacam biaya perekrutan (recruiting fee) yang dibebankan kepada majikan sehingga TKI wanita yang berangkat gratis, sedangkan TKI laki-laki membutuhkan dana untuk bekerja di pabrik atau tempat lain.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008