Jakarta (ANTARA News) - Pengembangan kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) perlu dukungan dari para pemangku kepentingan bidang kehutanan dan sektor terkait sehingga keinginan untuk pengelolaan hutan lestari dapat dicapai."Pengembangan kelembagaan SVLK perlu didukung dan dituntaskan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki komitmen yang tinggi dalam memerangi kegiatan illegal logging (Illog), dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari," kata Dirjen Bina Produksi Kehutanan Dephut, Hadi Pasaribu, di Jakarta, Rabu.Selain itu, katanya, pada acara Konsultasi Publik Kelembagaan SVLK yang digagas Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), kelembagaan SVLK juga merupakan "competitive advantage" (keunggulan kompetitif) bagi Indonesia dalam memasuki pasar global yang semakin kompetitif. Meski begitu, kata dia, meski implementasi SVLK akan meningkatkan daya saing produk kayu Indonesia di pasar global, di sisi lain pada awalnya akan berdampak pada biaya produksi. Karena itu, implementasi SVLK, termasuk kelembagaannya perlu dilakukan secara bertahap dan selektif, dimulai dengan ujicoba di lapangan, katanya. Sementara itu, jurubibara LEI, Indra Setia Dewi menjelaskan, dalam konteks kebutuhan untuk mengatasi pembalakan liar itulah maka pada 13 April 2002, pemerintah Indonesia dan Inggris menandatangani nota kesepahaman (MoU) dalam pengatasan pembalakan liar. Dalam butir-butir rencana kegiatan yang ditandantangani tanggal 9 Agustus tahun yang sama tertuang rencana untuk mengembangkan standar legalitas kayu Indonesia. Bermula dari MoU ini maka berbagai kegiatan untuk menyusun standar legalitas kayu Indonesia dilakukan. Proses-proses penyusunan berlangsung melalui banyak tahap, dan melibatkan banyak pihak. Pada tahap awal penyusunan standar satu tim konsultan berkerja mengembangkan standar yang kemudian diujicobakan di Kalimantan Timur. Sebelum dan sesudah ujicoba itu, konsultasi publik dilakukan. Pada konsultasi publik di Bogor pada tanggal 30 Mei 2005, para pihak mengusulkan agar proses pelembagaan dan pengembangan standar lebih lanjut dilakukan dengan lebih memberi ruang dan peran bagi para pihak. Standar yang diharapkan akan menjadi "satu-satunya" standar yang berlaku di Indonesia diharapkan memberi kepastian bagi semua pihak, yakni pembeli, pemilik industri, pengusaha, penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008