Oleh Iskandar ZulkarnaenSamarinda (ANTARA News) - "Kemerdekaan boekan djaminan bahwa segala sesoeatoe akan mendjadi beres. Kemerdekaan sekedar memberikan kemoengkinan untuk keberesan itu. Kemoengkinan itu tidak ada dalam alam pendjadjahan". Amanat tertulis Bung Karno yang ditorehkan di kertas buku saku wartawan Oemar Dahlan itu merupakan hasil wawancara dengan Sang Proklamator pada 17 September 1950. Wawancara tersebut kemudian diterbitkan di halaman depan salah satu koran besar di Kalimantan Timur kala itu, "Masjarakat Baru". Wawancara langsung dengan Bung Karno saat itu berlangsung di Pelabuhan Samarinda, saat Sang Proklamator akan meninggalkan Samarinda menggunakan pesawat Catalina yang bertambat di Sungai Mahakam akan menuju Balikpapan. Selain melakukan wawancara, ia sempat meminta, agar Bung Karno menuliskan satu kalimat yang akan menjadi amanah bagi warga Kalimantan Timur (Kaltim) yang akan ditampilkan di halaman depan koran tersebut. Sebelum kemerdekaaan, sebagai wartawan muda, Oemar sudah ikut dalam berbagai pergerakan menuntut kemerdekaan Indonesia. Namun, tokoh yang dikenal sebagai "dian tidak pernah padam" itu pada Sabtu (6/9) pukul 14:00 Wita menutup mata dalam usia 95 tahun. Ia meninggalkan istri, lima anak, tujuh cucu dan satu cicit. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Jalan AM Sangaji Gang 9, dan dikebumikan keesokan harinya. "Kami sangat kehilangan karena bukan saja almarhum adalah wartawan sejati karena tetap berkarya meskipun sudah tua namun juga dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan," kata Ketua PWI Kaltim, Ir. H. Maturidi. Setelah sakit, tokoh pers Indonesia dan pejuang kemerdekaan itu meninggal dunia di Samarinda. Ia juga meninggalkan sejumlah dokumen dan hasil karya jurnalistik pada hari-hari terakhir di usianya yang ke-95 tahun. Segenap insan pers Kaltim merasa kehilangan, karena pria kelahiran Samarinda 1913 itu tercatat sebagai wartawan paling senior yang masih berkarya sampai usianya 95 tahun sehingga ia dikenal juga sebagai "wartawan lima zaman", dari zaman perjuangan melawan Belanda, Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru sampai Era Reformasi. Sebelum meninggal, ia masih menghasilkan sejumlah karya serta mengkritisi berbagai persoalan politik dan sosial di tanah air. Padahal, kondisi kesehatannya kian memburuk. "Tampaknya perjuangan masih panjang, alam reformasi justru tidak menuju titik yang diidamkan para pejuang kemerdekaan namun malah membuat bangsa kian terpuruk," katanya sempat mengkritisi awal bergulir reformasi tahun 1999. Ia mengkritik sejumlah program yang sebenarnya bagus pada Orde Baru namun dianggap salah pada Era Reformasi sehingga berbagai kegiatan yang dinilainya bermanfaat "diberangus" oleh pemerintah yang berkuasa. Misalnya, program Pos Yandu yang menjadi ujung tombak bagi Pemerintahan Presiden Soeharto dalam meningkatkan taraf hidup kesejahteraan dan kesehatan rakyat tidak berjalan selama Era Reformasi. Namun, yang terjadi kemudian, kasus kurang gizi dan folio yang sempat "hilang" di bumi Indonesia pada Orde Baru kemudian menjadi kasus "mewabah" pada Era Reformasi. Saat menyampaikan kritikan itu, usianya sudah 90-an tahun.Bagi yang mengenal dekat sosok Oemar Dahlan, kritikan seperti itu bukan hal yang baru karena perjuangannya dalam menyampaikan sesuatu yang dianggap benar sudah dijalani sejak era perjuangan kemerdekaan. Ia terlibat berbagai pergerakan dalam membebaskan diri dari penjajah meskipun bukan secara fisik memanggul senjata namun melalui tulisan-tulisannya di berbagai media massa kala itu. "Oemar Dahlan juga dikenal sebagai sahabat karib mantan Wapres, almarhum Adam Malik yang ketika itu sama-sama mendirikan Partai Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) sebagaimana diakui oleh Adam Malik dalam suratnya tertanggal 23 Pebruari 1981 yang menyatakan bahwa Oemar Dahlan adalah salah seorang pendiri dan penegak partai Gerindo untuk daerah Kalimantan," kata Maturidi. Berbagai pergerakan menantang penjajah ia ikuti sehingga Pemerintah Belanda pernah membujuk Oemar agar mau "menyeberang". Ia ditawarkan duduk dalam delegasi Kalimantan Timur ke Konferensi "Bizonder Federal Overleg" (BFO) di Bandung pada 1948. Namun, Oemar muda secara tegas menolaknya karena tahu maksud Belanda dalam BFO itu untuk membungkam pergerakan melalui politik pecah belah untuk membuat negara federasi. Di zaman Pemerintahan Belanda, Oemar, karena tulisannya memperjuangkan kemerdekaan, pernah dua kali menghadapi delik pers dan didenda 75 gulden, yakni saat sebagai Redaktur harian "Pewarta Borneo" pada 1935 dan saat menjadi "Hoofdredacteur" (Pimred) "Pantjaran Berita" (koran nasional) pada 1940. Bila tidak dibayar denda itu, maka ia menggantikan dengan hukuman tiga bulan kurungan. Vonis Landtaat Samarinda dijatuhkan pada 1 April 1940. Tiga kali Oemar naik banding (revisi) ke Raad Van Justitie (RVJ) di Surabaya namun vonis RVJ memperkuat vonis Landraat Samarinda pada 5 Juli 1940 No. 440/R/Ia, Oemar terpaksa bersusah payah mencari uang sampai menjual harta benda untuk membayar denda 75 gulden karena gajinya sebagai Pimred koran nasional "Pantjaran Baru" hanya 15 gulden. Pembayaran denda peradilan Penjajah Belanda itu dibuktikan dengan selembar kwitansi tanggal 30 Juli 1940 yang menjadi "zimat" yang sebelumnya selalu dibawa kemana-mana selama 60 tahun. Oemar muda adalah sosok pemuda simpatik agresif dan patriotik. Dia sangat menentang penjajahan Belanda dan ikut dalam berbagai pergerakan. Dalam melakukan aksi menentang dengan selalu mengobarkan semangat rakyat tidak selalu melalui tulisan, namun kadang-kadang melalui pertunjukan tonilnya, atau pembacaan puisi puisi dari panggung ke panggung. Selain itu dia aktif pula bekerja di surat kabar baik yang terbit di Kalimantan maupun tanah Jawa. Tokoh ini lahir dari seorang bapak yang bekerja sebagai juru mudi kapal. Pendidikan formal hanya di HIS selama 3,5 tahun. Ia putera pertama dari delapan bersaudara dari Dahlan dan Kamaraiah. Ayahnya yang menahkodai kapal Jepang Mudjimaru, sebuah kapal peninggalan Belanda yang semula bernama Andries. Kapal itu tenggelam bersama seluruh awaknya karena diterjang peluru terpedo tentara Australia di Laut Sulawesi karena menyangka itu milik tentara Jepang. Dalam hidupnya Oemar Dahlan pernah mendapat penghargaan dari Komando Resort Kepolisian 1402 Samarinda tahun 1975 sebagai wartawan teladan. Dari rektor Unmul pada tahun 1980, Dari Pimpinan Pusat Legiun Veteran (LVRI) Jakarta pada tahun 1982 sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan. PWI dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Kalimantan Timur mengukuhkannya sebagai wartawan teladan di tahun 1985, dan dari Dewan Pimpinan Daerah Golongan Karya (DPD Golkar) Kaltim tahun 1986, serta Walikota Samarinda pada 1987 memberinya anugerah selaku Tokoh Pers dan Tokoh Masyarakat Samarinda. Penghargaan lain yang diterimanya adalah Satya Lencana Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Jakarta pada 1989, Tokoh Masyarakat Kaltim 1990 dari Gubernur dan DPRD Kaltim, Medali Perjuangan Angkatan '45 dari Dewan Harian Nasional (DHN) Angkatan 45 Jakarta pada 10 Nopember 1990, serta Tokoh Pers Kaltim 1993 dari Gubernur Kaltim. Penghargaan yang diterima Oemar Dahlan adalah pengakuan akan keberadaan dan perbuatannya baik disaat menegakkan kemerdekaan maupun pada zaman pembangunan. Silih berganti zaman bagi Oemar memperkuat keyakinannya untuk membela kebenaran melalui penanya, bahkan setelah kemerdekaan ia pun rela melepaskan jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Penerangan lantaran merasa kebebasannya menulis terkungkung. Pada suatu ketika, Oemar juga pernah berkata, "Menjaga dan memelihara kemerdekaan itu adalah sesuatu tantangan yang tak gampang." Saat meninggal dunia, ia masih mendiami rumah sederhana tanpa adanya perabot mewah. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008