Jakarta (ANTARA) - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI menegaskan menolak kenaikan iuran BPJS kesehatan, dan menyatakan bahwa cara untuk mengatasi defisit adalah bukan dengan meningkatkan iuran tetapi dengan benar-benar memperbaiki pihak manajemen.
"Kunci penyelesaian defisit BPJS Kesehatan bukan dengan menaikkan iuran yang dibebankan pada peserta tapi pada perbaikan manajemen BPJS, kepesertaan, termasuk skema pendanaan dari negara. Fraksi PKS mendesak BPJS Kesehatan untuk segera menyelesaikan tunggakan klaim rumah sakit-rumah sakit di seluruh Indonesia," kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani dalam rilis di Jakarta, Rabu.
Menurut Netty, rencana kenaikan iuran dinilai tidak diimbangi dengan pelayanan yang diharapkan, apalagi mengingat bahwa BPJS Kesehatan sejak tahun 2014 juga tidak pernah sepi dari kontroversi, mulai dari kelembagaan hingga operasional.
Ia mencontohkan masih adanya keresahan pasien terkait sukarnya mengakses pelayanan kesehatan, hingga keresahan industri farmasi dan perumahsakitan karena keterlambatan pembayaran.
Baca juga: YLKI: Pemegang BPJS Kesehatan jangan diperlakukan diskriminatif
Netty menambahkan, Fraksi PKS mendesak Kementerian Kesehatan RI untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mencari pembiayaan terhadap selisih kenaikan iuran JKN bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2019.
Fraksi PKS mendesak pula agar BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan untuk memfinalisasi data cleansing terhadap sisa data PBI APBN bermasalah hasil audit dengan tujuan tertentu atas aset Jaminan Sosial Kesehatan tahun 2018 oleh Badan Pengawas keuangan dan pembangunan (BPKP), selambat-lambatnya akhir November 2019.
Menurut dia, kenaikan iuran BPJS tanpa adanya proses pembenahan dan pemilahan data kepesertaan dapat dipastikan akan membebani masyarakat.
Sebagaimana diwartakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemerintah akan menghitung besaran anggaran setelah Kementerian Keuangan menerbitkan tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) baru menyangkut iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Itu akan kami hitung, jumlahnya nanti tergantung pada masing-masing dihitungnya," katanya di Jakarta, Senin (11/11).
Baca juga: Menkeu akan hitung anggaran BPJS Kesehatan setelah terbit PMK baru
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, tiga PMK baru hasil perubahan peraturan sebelumnya itu terkait pembayaran iuran BPJS Kesehatan untuk aparatur sipil negara (ASN), penerima bantuan iuran (PBI) dan daerah.
Menteri Keuangan menyebutkan proses penghitungan besaran anggaran tersebut segera dirampungkan setelah pihaknya menerbitkan tiga PMK sekaligus terkait iuran BPJS Kesehatan.
Sebelumnya, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris mengatakan defisit anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa mencapai Rp77 triliun pada akhir 2024, bila tidak ada upaya fundamental untuk mengatasinya.
"Kami akan melaksanakan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019, tetapi kami juga ingin berkontribusi untuk menyelesaikan masalah ini," kata Fachmi dalam Rapat Kerja Komisi IX yang juga dihadiri Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (6/11).
Fachmi mengatakan hutang BPJS Kesehatan kepada rumah sakit yang sudah jatuh tempo mencapai Rp21,1 triliun. Hingga akhir 2019, diperkirakan defisit BPJS Kesehatan akan mencapai Rp32 triliun.
Untuk mengatasi defisit tersebut, peraturan perundang-undangan memberikan tiga pilihan kebijakan. Pertama, rasionalisasi iuran sesuai dengan perhitungan aktuaria; kedua, rasionalisasi manfaat yang diterima peserta; ketiga, suntikan dana tambahan dari pemerintah kepada BPJS Kesehatan.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019