Jakarta (ANTARA News) - Mantan Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Susanto Pudjomartono, menilai bahwa perusahaan-perusahaan Amerika Serikat (AS) yang didukung pejabat-pejabat negara itu mengeruk keuntungan besar dari proyek-proyek rekonstruksi Irak yang porak-poranda akibat perang sebelum dan sesudah menggulingkan Presiden Saddam Hussein. AS menyerang Irak dengan berbagai alasan, antara lain karena negara di Timur Tengah itu pada awalnya dinilai memiliki senjata pemusnah massal. Kemudian AS berubah menggulingkan Saddam, yang dinilai telah memerintah dengan tangan besi selama dua dekade dari tampuk kekuasaan, kata Susanto dalam bedah buku "Detik-detik Terakhir Saddam - Kesaksian Wartawan Tempo dari Bagdad, Irak" di Jakarta, Selasa. "Ujung-ujungnya mereka mengincar minyak Irak sebagai produser minyak terbesar ketiga di kawasan itu," kata Susanto yang juga wartawan senior. Dengan harga minyak yang tinggi, Irak yang kini memproduksi 2,5 juta barel sehari memperoleh keuntungan dari penjualan minyak untuk ekspor. Lepas dari kekejian dan kebiadabannya ketika memerintah, Susanto mengatakan banyak orang menilai Saddam termasuk seorang pemimpin yang berani melawan AS. Menurut dia, AS juga membawa-bawa demokrasi ke berbagai negara tapi hal tersebut tak berlaku ketika berhadapan dengan Kerajaan Arab Saudi. Prof. Abdul Hadi WM, budayawan dan dosen Universitas Paramadina, menguraikan sejarah di Timur Tengah dengan fokus Irak. "Sejarah mencatat terjadi pergolakan di kawasan ini untuk merebut kekuasaan sampai muncul dan runtuhnya Kekhalifahan Usmani, penjajahan Inggris dan Perancis dan kemunculan Partai Baath yang mengusung sosialisme Arab," katanya. Partai Baath di bawah Saddam menerbitkan buku-buku yang diterjemahkan ke berbagai bahasa, kata Abdul Hadi, yang pernah diundang Pemerintah Irak bersama dengan beberapa seniman dan budayawan Indonesia dan negara-negara lain. Rommy Fibri dan Ahmad Taufik menulis buku itu yang berisi kesaksian mereka sebagai wartawan Tempo dari Bagdad. Rommy berhasil menembus Bagdad melalui Damaskus, Suriah, pada akhir April 2003, seperti digambarkannya pada Bab Dua buku itu. Ia bersama Zuhaid el-Qudsy, koresponden Tempo, adalah wartawan Indonesia yang pertama kali tiba di Irak dan meliput sebelum tentara AS menyerbu. Rommy telah masuk ke Irak tiga kali termasuk pada saat penangkapan Saddam Desember 2003 dan saat pemerintahan transisi Irak dimulai pada Juni 2004. "Hingga kini saya masih teringat ketika mendapat cacian dari seorang ibu. Ibu itu mengatakan kehadiran wartawan termasuk saya tak ada artinya. Untuk apa ada wartawan kalau korban tewas dan cidera terus berjatuhan," kata Rommy seraya menambahkan "Ibu itu menyuruh saya lebih baik pulang." Setahun kemudian, Irak berbenah mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan pemilihan umum demokratis pertama setelah Saddam jatuh. Tempo memutuskan mengirim Ahmad Taufik untuk meliput. Taufik pernah meliput di wilayah konflik di Pakistan-Afghanistan dan menjadi saksi bagaimana tentara AS menghabisi Taliban. Susanto berpendapat penerbitan buku ini agak terlambat karena peristiwa yang ditulis dalam buku ini sudah terjadi beberapa tahun lalu dan tak menjawab pertanyaan mengapa AS menyerang Irak. Walau demikian, ia mengatakan kedua penulis telah mempersiapkan buku ini dengan riset dan perenungan. Dalam sambutannya Rektor Universitas Paramadina Dr. Anies Baswedan mengatakan ada permainan opini luar biasa terkait dengan masalah Irak dan penggulingan rezim Saddam. "Saat itu stasiun-stasiun televisi AS menyiarkan pengiriman tentaranya ke Irak dengan persenjataan canggih dan pihak AS mengira Irak segera dikuasai," ujarnya. Tapi, tambah Anies, ratusan ribu tentara AS masih belum ditarik pulang setelah lima tahun mereka bercokol dan ratusan diantaranya tewas. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008